Kata Soe Hok Gie mati muda itu yang paling enak?
Saya adalah tipe orang yang jika sangat terkesan terhadap suatu hal, baik itu merupakan lagu, film, kejadian, maupun orang, maka saya cenderung sulit lupa dengan hal itu. Demikian hal yang terjadi pada saya ketika menonton film “GIE” beberapa tahun silam. Saya ingat pada adegan terakhir, ketika tokoh utama dikisahkan telah berpulang ke rahmatullah lalu ditampilkan visualisasi ia yang berjalan di pantai, invoice yang muncul adalah pendapat Soe Hok Gie mengenai ‘anugrah yang terbaik adalah mati muda‘ dan memang demikian yang terjadi padanya, beliau meninggal pada usia yang masih muda, tentu dengan meninggalkan sesuatu.
Dalam hal ini entah mengapa saya kurang setuju dengan pendapat Soe Hok Gie. Meninggal pada usia muda, katakanlah usia remaja atau dewasa muda menurut saya merupakan sesuatu yang tidak begitu menyenangkan (walaupun tentu kita tidak dapat menentukan apakah mati itu menyenangkan atau tidak, karena tidak ada orang yang mampu mengemukakan pendapat lebih enak hidup atau mati setelah mereka meninggal kan?). Saya tidak pintar bicara tentang kematian, namun menurut saya pribadi mati muda itu ‘kentang’ atau ‘kena tanggung’.
Begini, dalam usia remaja maupun memasuki awal dewasa muda kita memasuki masa dimana kita ingin menemukan siapa diri kita yang sebenarnya. Di usia remaja kita melakukan banyak sekali pemberontakan, terhadap orangtua, terhadap aturan-aturan yang ada, terhadap skema yang telah kita miliki sebelumnya, intinya kita berada pada masa bimbang dan huru-hara. Kita seringkali merasa sebal dan marah, diperlakukan tidak adil, tidak bisa mengekspresikan diri dan idealisme karena norma- norma maupun aturan yang ada. Seringkali kita tidak mengerti mengapa peraturan ini dibuat, mengapa orangtua kita berbuat hal seperti itu kepada kita, dan sebagainya dan sebagainya.
Saya kemudian membayangkan, jika seseorang meninggal pada usia muda, atau katakanlah usia remaja atau memasuki dewasa awal, maka orang tersebut tidak akan pernah tahu kenapa orangtuanya melakukan hal seperti itu, kenapa ada peraturan ini dan itu dan mengapa sebagai remaja kita ‘selalu’ memberontak. Kita tidak pernah tahu betapa sulitnya menjadi orangtua, dan sebagainya dan sebagainya. Kita mungkin juga belom bisa melihat prestasi apa yang bisa kita buat untuk mengukir eksistensi kita di dunia, untuk membalas budi kepada orangtua (saya termasuk orang yang percaya bahwa kita harus membalas budi orangtua), dan masih banyak hal lain. Mungkin yang paling tidak mengenakkan ketika meninggalkan dunia dalam usia yang masih remaja (atau muda) adalah kita masih belum menemukan jawaban dari sebagian besar keresahan yang ada dalam diri kita. Seperti itulah yang saya pikir terjadi pada Soe Hok gie.
Yah, walaupun begitu, kita juga toh tidak bisa memilih waktu kematian kita kan?
– D! –
saya sebelumnya selalu ingin mati muda, kenapa? karena gak mau merasakan “masa tua” dimana idealisme kalah oleh rasionalisme, dimana kelugasan berubah menjadi sikap politis yang plintat-plintut. tapi emang sedikit kurasakan, makin tua pikiran makin bersifat “diplomatis”, dan antusiasme itu hilang!
Masa tua kuanggap sebagai “kekalahan” atas perubahan, tapi sekarang jadi mikir lagi ungkapan (hadist) “paling baik itu yang umur panjang dan diisi amal shaleh”, kadang kasian ntar kalau gw punya istri, kalau harus ninggalin sendiri dia ketika masih muda.
yang paling baik bukanlah mati muda atau umur panjang bung
yang paling baik tentu saja apa yang sudah kita berikan untuk orang lain, tak peduli kita nanti mati muda atau malah hidup seribu tahun lagi ;-)
Kalau muda sekarang banyak yg berfikir mati.
Siapakah yang menggantikan yang tua nanti.?
Presiden kita sudah tua, Gubernur kita sudah tua, Polisi kita sudah tua.
Maka berfikirlah yang muda untuk melanjutkannya.
Hidup lebih baik berjuang, dan kematian lebih baik dalam kemenangan.
: Fitrah Hambali