Akibat nekat.
eeng.
Saya udah lama banget nggak main-main ke blog punya temen-temen saya, bahkan saya juga nggak sesering itu buka blog saya sendiri, dan malam ini saya kepikiran untuk buka blog salah satu temen gara-gara threadnya dia di Plurk.com. Sebetulnya temen saya udah bilang blognya isinya lagi sedih, dan saya tetap nekat buka blognya.
Bener saja.
Saya emang cengeng.
Kalau dilihat-lihat saya udah lama banget nggak nulis curhatan saya di blog, saya bertanya-tanya kenapa?
Alasan pertama yang terlintas adalah karena saya tahu bahwa ‘ternyata’ yang baca blog saya cukup ‘ada’ (bukan ‘banyak’, cuma sekedar ‘ada’) dan saya nggak pingin beberapa diantara orang-orang tersebut tau bagaimana perasaan saya yang sebenernya tentang hal-hal yang terjadi di sekitar saya, nggak pengen aja, gengsi, malu, apapun itu namanya. Saya tidak mau dianggap ‘lemah’ atau ‘menyedihkan’ karena terus mengeluh tentang hal-hal yang menyedihkan. Alasan kedua adalah karena saya merasa nggak cukup pintar membuat kata-kata bagus menjadi sebuah tulisan yang berasal dari curhatan saya, atau setidaknya saya sudah lupa caranya.
Ternyata, kalau dilihat lagi, alasan utama saya sudah tidak pernah menumpahkan perasaan saya di blog saya sendiri, adalah karena saya penakut dan cengeng juga. Ketika saya menuliskan sesuatu tentang yang sedih-sedih, saya akan membukanya lagi suatu hari. Makanya akhir-akhir ini saya agak takut nonton film cinta, baca kisah cinta, atau apapun itu yang berbau sedih, karena saya tahu dampaknya buat saya agak frik. Contohnya hari ini, saya buka blog temen saya itu (yang isinya lagi sedih), dhueesss! Sensasi rasa itu rasanya menyergap saya seketika. Sesak meeen. Tiba-tiba jantung saya rasanya sakit, sakit sekali. Kemudian saya mulai teringat kembali hari hari menyedihkan itu, semua yang menyedihkan, dan menyenangkan (yang kemudian ujungnya jadi menyedihkan), dan rasanya sakit sekali. Saya bahkan meneteskan air mata saat menuliskan ini. Saya tidak tahu kenapa, hanya saja rasanya sakit.
Dan saya tidak mau merasa sakit lagi,
Setidak-tidaknya di salah satu artikel majalah Psychology Today (saya lupa edisi kapan) yang sempat saya baca ada mekanisme dimana setelah suatu kejadian buruk kita bisa ‘membuat diri kita’ atau ‘memaksa’ atau ‘berpura-pura’ untuk menjadi baik-baik saja, untuk kemudian menjadi betul-betul baik-baik saja. Saya berusaha berpegang kepada hal itu. Karena marah itu melelahkan, dan sedih itu menyebalkan, dan saya tidak mau memiliki dendam secuil apapun, saya nggak mau lagi bicara hal-hal buruk dan menyakitkan. Saya tidak mau lagi memikirkan hal-hal yang cuma bisa bikin saya sedih ujung-ujungnya tanpa yang dipikirkan pun merasa peduli, saya tidak mau tahu apa-apa lagi tentang itu semua. Ya, saya serius banget soal ini.
Saya cuma ingin hidup tenang.
Saya cuma ingin bahagia.
Karena saya sepenuhnya tidak memiliki hak untuk protes terhadap apapun lagi.
Kayanya gara-gara itu saya jadi nggak pernah nulis yang sedih-sedih lagi. Padahal ini blog saya sendiri. Saya tidak mau lagi banyak orang tahu apa yang benar-benar sedang saya rasakan. Salah satu alternatifnya ya dengan begini, soalnya amygdala nggak bisa dicopot sih.
– D! –
dheyyy udah lama gak main kesini! gue suka banget kalimat terakhir lo ‘soalnya amygdala gak bisa dicopot’ hahaha (:
setuju sama ka disa! :)
nama kakak udah bener kok.. hehehe.
gw juga kepengen gunting amygdala