Saya, konsumtif? (pt.1)

(berhubung tulisan ini akan menjadi tulisan yang agak panjang, maka saya berinisiatif untuk menjadikannya menjadi dua postingan, biar enak dibacanya)

Pada hari Senin malam (20/07/09) yang lalu saya dibuat terpana oleh sebuah artikel yang saya baca di Majalah bulanan Intisari edisi Juli 2009. Artikel yang ditulis oleh Muhammad Sulhi tersebut menyoroti mengenai kebiasaan berbelanja masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah perkotaan. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa ‘menentukan prioritas dan proporsi pengeluaran yang seimbang merupakan kelemahan bagi sebagian besar dari kita. Hal ini berangkat dari hasil survey yang dilaksanakan oleh tim Litbang Intisari terhadap sebagian pembaca majalah dan tabloid yang tergabung dalam GRAMEDIA MAJALAH terpilih (dengan rentang usia 25-40 tahun) pada Maret 2009 yang lalu. Walaupun hasil survey ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh pembaca majalah dan tabloid yang tergabung dalam GRAMEDIA MAJALAH dan masih terdapat sampling error maupun non-sampling error sehingga hasil survey-nya bisa dikritisi lebih lanjut, namun hasil survey ini lumayan memberikan gambaran mengenai gaya hidup masyarakat perkotaan yang ada di sekitar kita (yang mungkin tidak berbeda dengan kita-kita ini dengan usia yang sedikit lebih muda dari usia peserta survey).

Dari hasil survey diketahui bahwa, bagi sebagian besar dari responden (yang sebagian besar sudah menikah dan berasal dari tingkatan ekonomi menengah/atas) aktivitas yang berhubungan dengan hobi, kegiatan hangout, merokok, dan gadget merupakan hal-hal yang memiliki aspek besar dalam pengeluaran per bulannya. Untuk hobi, misalnya, baik responden pria dan responden wanita mengeluarkan angka sebesar Rp.422.360,00 per bulannya, dimana angka tersebut hanya sedikit lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan anak. Selain itu, kebiasaan hangout, atau bahasa gampangnya nongkrong yang biasanya diungkapkan dengan dalih bersosialisasi, ternyata membutuhkan biaya sebesar Rp.257.318,00 setiap bulannya. Dimana biaya tersebut lebih besar daripada uang saku untuk anak. Belum lagi untuk hobi berganti gadget, per bulannya biaya yang dikeluarkan rata-rata adalah Rp.239.286,00, dimana biaya ini dua kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan (Rp.125.000,00), atau setengahnya dari biaya pendidikan anak (Rp.500.000,00). Belum lagi menyangkut kegemaran mengikuti perkembangan dunia fashion dan menyangkut juga kebiasaan merokok.

Yang bikin saya tambah manggut-manggut kepala adalah persentase atau angka-angka tersebut muncul saat sebagian besar responden mengakui bahwa terdapat pengaruh krisis keuangan global terhadap keluarga mereka (86% dari responden menyatakan demikian) dan mereka harus memangkas beberapa pengeluaran-pengeluaran yang dirasa tidak penting. Kalau sudah terpengaruh krisis saja pengeluarannya segini, bagaimana dengan keadaan sebelum krisis keuangan ya? Dalam artikel ini juga disebutkan bahwa tidak heran jika banyak perusahaan multinasional menjadikan konsumen Indonesia sebagai pangsa pasar yang menjanjikan untuk berbagai produk mereka. Artikel yang agak berhubungan juga baru-baru ini saya baca dari Koran Tempo (ah saya lupa penulisnya siapa dan tanggal terbitnya kapan), kaitannya dengan BlackBerry yang kabarnya mau dihentikan stoknya karena pihak perusahaan belum menyediakan layanan purna jual yang memadai di Indonesia, padahal pengguna BlackBerry sendiri sudah luar biasa membludak. Dalam artikel tersebut juga disinggung-singgung bahwa pasar Indonesia itu unik. Unik dalam hal orang-orangnya lebih cenderung mengutamakan penampilan, atau gaya, daripada fungsi. Ouch!


Lalu, kenapa sih saya tertarik dengan artikel-artikel ini?

Karena akhir-akhir ini saya bener-bener lagi merasakan ada sesuatu yang salah sama gaya hidup saya belakangan dan hal ini cukup membuat saya berpikir. Akhir-akhir ini saya selalu saja merasa saya tidak punya uang, uang yang saya miliki tidak pernah cukup untuk memenuhi semua kebutuhan saya, dan saya sampai gemes bersumpah pingin jadi orang kaya kalau besar nanti. Hal ini cukup nyebelin buat saya di beberapa titik, karena saya jadi mengeluh terus kerjanya dan menyalahkan orangtua. Kenapa sih saya nggak kaya? Kenapa sih bapak saya bukannya pengusaha yang usahanya ada dimana-mana? Kenapa bapak saya nggak bisa memasuki masa pensiun dengan tenang dimana semuanya sudah tersedia?

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Saya tertekan, takut, panik, dan gemes.

Hal-hal ini tidak bisa saya bicarakan dengan banyak orang, karena sulit menjelaskan kepada mereka bagaimana perasaan saya menghadapi hal ini, entah saya takut, entah saya malu karena jauh di dalam lubuk hati saya, saya merasa sangat dangkal untuk mementingkan hal-hal materiil seperti ini. Namun, saya juga tidak bisa bohong bahwa saya sangat takut dan khawatir. Akhirnya, suatu hari, semuanya luber juga, dan saya mengungkapkan semua sambil berkonsultasi kepada teman saya. Setelah berkonsultasi dengan teman saya (baca: curhat), saya dianjurkan untuk tidak berfokus kepada apa yang saya rasakan, namun lebih kepada apa yang bisa saya lakukan untuk mengurangi tekanan-tekanan tersebut. Jadi demikianlah, hal pertama yang bisa saya lakukan adalah mencari tahu sejak kapan mulai muncul perasaan-perasaan seperti itu dalam diri saya. Ketika saya mengurutkan kembali akhirnya didapatkan fakta bahwa, sebelumnya saya tidak begini, kira-kira dua atau setahun yang lalu saya sama sekali tidak begini.

Dua atau setahun yang lalu saya adalah anak yang cuek dan tidak kenal merk. Cuek dan tidak kenal merk disini dalam artian, saya tidak begitu peduli saya harus beli produk apa dimana (terutama dalam hal pakaian dan aksesoris, bukan makanan), saat itu yang saya pikirkan adalah apakah saya merasa nyaman dengan baju itu atau tidak, dan apakah saya memang membutuhkannya atau tidak. Untuk beberapa baju bahkan saya memilih untuk membuat desain sederhana sendiri dan membawanya ke tukang jahit, untuk menghindari biaya pembelian pakaian yang tidak masuk akal. Demikian pula soal gadget atau kegiatan nongkrong dan liburan, saat itu yang saya pikirkan adalah yang penting kebutuhan saya tercukupi. Tidak terpikir sama sekali mengenai prestise atau buat gaya-gayaan.

Tapi sekarang?

BEDA.

Saya kemudian bertanya-tanya darimana datangnya perbedaan dalam diri saya ini?


(bersambung)

– D! –

3 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s