Soal Menjadi Pintar

# Dari kecil saya selalu punya cita-cita ingin jadi pintar.

Bukan, bukan ‘orang pintar’ yang bisa melihat makhluk halus, bisa membaca masa depan, apalagi bisa menyembuhkan penyakit orang lain lewat sentuhan atau jenis batu manapun. Pintar yang saya maksud di sini adalah orang yang memiliki pengetahuan luas, mudah diajak berbincang soal apa saja, cepat menerima informasi dari segala sumber, tidak punya masalah menyangkut hal akademis, pintar berhitung, bisa mengemukakan pemikiran baik secara tertulis maupun secara lisan dengan baik, dan seterusnya, dan seterusnya. Menjadi orang pintar yang seperti itu. Darimana datangnya cita-cita tersebut, saya juga kurang tahu, berhubung orangtua saya sepertinya biasa-biasa saja.

Lalu, di usia yang sudah 21 tahun ini, apakah cita-cita tersebut mulai sedikit tampak bisa dicapai? Saya betul-betul tidak tahu.

Berbicara tentang menjadi pintar saya jadi ingat suatu sore sekitar satu bulan yang lalu, saat saya sedang duduk dengan beberapa orang teman di kantin fakultas. Saat itu kami membahas soal seorang anak SMP yang diminta untuk mendefinisikan dirinya dengan 5 kata, dan kata pertama yang ia tuliskan adalah “cantik”, lalu kata keduanya adalah “lucu”, ketiga “gaul”, dan berikutnya saya tidak sanggup melanjutkan. Anak yang sangat percaya diri, dan percaya diri itu adalah sesuatu yang baik dan dibutuhkan. Lalu kami saling bertanya, jika kami diminta untuk mendefinisikan diri kami dengan 5 kata, kata apa yang akan kami gunakan? Saat itu saya hanya terpikir satu kata, yaitu “aneh”, kata berikutnya yang terpikirkan adalah “mudah terkesan”, berikutnya “moodswinger”, berikutnya “senang tertawa”, dan terakhir, “mudah panik”. Lalu, salah seorang teman bertanya, “don’t you consider yourself smart?”

Saya bengong. “Tidak”, jawab saya sambil memasukkan cemilan ke dalam mulut (bagian tidak penting).

Ini membuat saya menengok kembali pada angan-angan saya sejak kecil yang ingin menjadi pintar.

#Omong-omong, apa sih pintar itu?

Pintar adalah suatu kata yang memiliki banyak sekali definisi dengan sejumlah dimensi.

Beberapa orang menyebutkan bahwa, “orang bisa saja cerdas, namun tidak pintar”, atau “dia sih nggak pintar, cuma rajin aja orangnya”.  Selain itu, kata-kata seperti cerdas, pintar, cerdik, pandai, berwawasan luas, nampak saling tumpang tindih dalam arti dan seringkali digunakan secara bergantian untuk menyampaikan maksud yang kurang lebih sama. Kita juga mengenal beberapa kosakata sederhana dalam Bahasa Inggris, seperti intelligent, smart, bright, clever, dan sebagainya. Belum lagi kita mengenal konsep-konsep seperti IQ, EQ, bahkan sekarang ada SQ. Namun apa sih sebetulnya yang dimaksudnya dengan kata-kata ini? Orang seperti apa yang dikatakan sebagai orang yang pintar? Keadaan seperti apa pintar atau cerdas itu?

Selama 4 tahun saya kuliah, saya banyak sekali dicekoki berbagai macam bacaan dari buku-buku tebal yang membahas seputar inteligensi manusia (dan juga beberapa jenis hewan). Dari sekian banyak bacaan tersebut, masing-masing ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda soal inteligensi.Jika menilik dari asal bahasanya, maka inteligensi adalah (Dalam Wikipedia):

Intelligence derives from the Latin verb intelligere (“to understand”, “to choose between”);[1] per that rationale, “understanding” (intelligence) is different from being “smart” (capable of adapting to the environment). Scientists have proposed two major “consensus” definitions of intelligence:

(i) from Mainstream Science on Intelligence (1994), a report by fifty-two researchers:

A very general mental capability that, among other things, involves the ability to reason, plan, solve problems, think abstractly, comprehend complex ideas, learn quickly and learn from experience. It is not merely book learning, a narrow academic skill, or test-taking smarts. Rather, it reflects a broader and deeper capability for comprehending our surroundings — “catching on”, “making sense” of things, or “figuring out” what to do.[2]

(ii) from Intelligence: Knowns and Unknowns (1995), a report published by the Board of Scientific Affairs of the American Psychological Association:

Individuals differ from one another in their ability to understand complex ideas, to adapt effectively to the environment, to learn from experience, to engage in various forms of reasoning, [and] to overcome obstacles by taking thought. Although these individual differences can be substantial, they are never entirely consistent: a given person’s intellectual performance will vary on different occasions, in different domains, as judged by different criteria. Concepts of “intelligence” are attempts to clarify and organize this complex set of phenomena. Although considerable clarity has been achieved in some areas, no such conceptualization has yet answered all the important questions, and none commands universal assent. Indeed, when two dozen prominent theorists were recently asked to define intelligence, they gave two dozen, somewhat different, definitions.[3][4]

Bila kita merujuk kepada pengertian yang banyak disepakati di atas, maka inteligensi akan banyak sekali berkaitan dengan kemampuan untuk menalar, membuat suatu perencanaan, memecahkan suatu permasalahan, berpikir secara abstrak (di luar hal konkret yang ada di depan mata), mampu belajar dari pengalaman, memahami hal-hal yang ada di sekitarnya dengan cepat, untuk kemudian mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Namun dapat dilihat pula, definisi tersebut juga mengatakan bahwa terdapat banyak sekali definisi yang berbeda menyangkut inteligensi tergantung dari kriteria mana inteligensi itu dinilai.

Beberapa pandangan yang banyak dikenal soal inteligensi antara lain misalnya :

a. Alfred Binet: mengemukakan inteligensi sebagai suatu kemampuan dari akal manusia untuk dapat melakukan penilaian, berinisiatif, maupun bertingkah laku tertentu dengan tujuan untuk beradaptasi dengan situasi individu

b. David Wechsler : kumpulan dari kemampuan individu untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta untuk dapat menghadapi lingkungannya secara efektif

c.Robert Stenberg : dengan Triarchic Theory of Intelligence yang mengemukakan bahwa terdapat 3 aspek mendasar dari inteligensi, yaitu analytical intelligence yang merupakan perwujudan dari proses mental dimana inteligensi tersebut dapat diekspresikan, creative intelligence adalah suatu aspek yang berguna saat individu dihadapkan pada suatu tantangan yang cenderung baru. Kemudian practical intelligence melibatkan lingkungan sosiokultural dan adaptasi terhadap, seleksi atas, dan pembentukan pada lingkungan yang ada sehingga individu semakin sesuai dengan konteks yang ada

Sebetulnya masih banyak lagi teoris yang mengemukakan pendapatnya soal apa itu inteligensi, namun tentu saja saya akan sangat pegal mencantumkannya satu persatu. Melihat kembali kepada pendapat para ahli di atas, jika kita cermati sedikit, dari pendapat-pendapat yang diungkapkan mengenai definisi inteligensi tersebut, maka kita dapat menemukan bahwa hampir semuanya melibatkan komponen adaptasi/penyesuaian diri terhadap lingkungan masing-masing dari individu. Hal ini juga dapat dilihat dari teori perkembangan (kognitif) manusia yang sangat mendasar, yang mengemukakan bahwa inteligensi merupakan suatu mekanisme mendasar yang ada pada manusia untuk menciptakan titik keseimbangan menyangkut hubungan individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, dapat kita lihat sekarang bahwa inteligensi lebih luas dari pada apa yang kita ketahui sebagai kemampuan akademis, kemampuan menyerap informasi dari berbagai sumber, kemampuan linguistik, kemampuan literasi, dan kemampuan berhitung. Bahkan , Howard Gardner mengemukakan dalam teori multiple intelligence yang ia kembangkan, bahwa inteligensi memiliki setidak-tidak-nya delapan komponen berbeda, yaitu logical, linguistic, spatial, musical, kinesthetic, interpersonal, intrapersonal dan naturalist yang kesemuanya memiliki bobot masing-masing sesuai dengan konteks.

#Dengan demikian,

dapatkah saya menyimpulkan secara sederhana bahwa inteligensi merupakan suatu kemampuan yang berkaitan dengan sejauh mana kita mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kita. Dengan begitu, orang yang pintar adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan paling efektif dengan lingkungannya. Kalau dilihat dari hal tersebut, maka akan sangat tidak sesuai jika kita merasa pintar dengan sengaja menggunakan bahasa-bahasa yang kita anggap sebagai bahasa akademisi, atau sengaja menunjukkan bahwa kita mengerti istilah-istilah sulit dan menggunakannya dalam perbincangan kita sehari-hari, tanpa merasa perlu peka terhadap sejauh mana bahasa atau istilah tersebut (biasanya di buku disebut sebagai jargon) dipahami dan dibutuhkan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Dengan demikian pula, akan sangat sia-sia kemampuan menghitung suatu bentuk persamaan yang paling sulit sekalipun yang kita miliki, jika kita tidak dapat menemukan dimana fungsi kemampuan tersebut dalam kaitannya dengan apa yang dibutuhkan dan diminta oleh lingkungan sekitar kita. Juga akan menjadi sayang sekali jika pengetahuan kita yang sangat luas mengenai berbagai hal di muka bumi ini tidak mampu kita terapkan kepada apa yang dibutuhkan dari keadaan sekitar kita.

Lalu untuk apa semua kelebihan dan kemampuan yang selama ini kita (pikir kita) miliki jika tidak dapat berguna dan bermanfaat bagi kita dalam hubungannya dengan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan kita masing-masing?

Saya kemudian kembali bertanya-tanya, apakah saya selama ini sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan saya dengan sebaik-baiknya? Apa yang sudah saya berikan kepada lingkungan saya?

#Jika  menjadi pintar

berarti mampu menyesuaikan bahasa dengan orang-orang dimana saya berinteraksi sehari-hari,

jika menjadi pintar berarti menggunakan persamaan dan perhitungan yang saya pelajari di sekolah untuk membantu orang-orang terdekat saya menyelesaikan permasalahan sehari-hari,

jika menjadi pintar berarti menggunakan kata-kata yang saya rangkai dalam tulisan untuk membuat orang dapat mengerti sudut pandang dan apa maksud dari perasaan yang hendak saya sampaikan dengan cara yang paling mudah,

jika menjadi pintar berarti mampu membagikan apa-apa yang saya tahu dengan cara yang yang paling sederhana untuk dipahami orang lain,

jika menjadi pintar berarti mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan lingkungan masing-masing,

maka apakah saya sudah dapat sedikit saja menjadi orang yang pintar?



“If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”

(Albert Einstein)

– D! –

One comment

  1. Penghuni Gubug

    semoga cita-cita mbak tercapai… saya juga ingin pintar mbak, lalu berguna… hidup cuma sekali, jadi harus dimanfaatkan agar hidup kita bermanfaat… ;-)
    salam hangat dari Gubug reyot…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s