On Growing Up
Senangnya bisa menulis di sini lagi setelah akhirnya berhasil lulus menjadi sarjana psikologi (walaupun masih harus membereskan revisi skripsi dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya administratif). Selain sidang skripsi, satu hal yang akhir-akhir ini membuat saya sangat senang adalah :
TOY STORY 3
“NO TOY GETS LEFT BEHIND”
Saya menonton film ini kira-kira tanggal 18 atau 19 Juni, dan menangis dengan sukes tanpa malu-malu. Terutama saat adegan dialog antara Andy dan Bonnie. Tiba-tiba rasanya sangat kangen pada semua mainan saya sewaktu kecil.
Saya jadi terpikir (lagi-lagi tentu saja karena walau saya selalu disibukkan oleh skripsi, sepertinya saya masih meluangkan banyak waktu untuk bengong, entah mengapa. ‘Bengong is in my blood‘, tampaknya demikian motto saya nantinya), seiring dengan bertambahnya usia saya, seberapa banyak saya telah tumbuh? Berapa banyak hal yang telah saya dapatkan?
Terlebih lagi, seberapa banyak saya telah berubah dan berapa banyak hal yang telah hilang dari saya?
Satu hal yang saya rasakan mulai hilang seiring dengan bertambahnya usia saya adalah, rasa ‘antusiasme terhadap dunia’. Saya tidak tahu apabila ada terminologi lain yang lebih tepat untuk menggambarkan hal yang saya coba sampaikan di sini, namun ‘antusiasme terhadap dunia’ yang saya maksud di sini adalah rasa antusias dan selalu dipenuhi rasa ingin tahu terhadap segala perwujudan bentuk yang ada di sekitar kita. Baik itu terhadap makhluk hidup maupun bukan, baik itu terhadap suatu benda baru maupun benda lama, baik itu terhadap sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk. Umumnya antusiasme ini sangat menggebu saat usia kita masih sangat muda. Dengan adanya antusiasme, bagi seorang anak, hidup ini tidak pernah membosankan.
Saya ingat saat-saat di mana saya bisa sangat senang hanya dengan berbekal satu buah buku yang berisikan cerita petualangan seorang gadis cilik yang tersasar ke negeri liliput (cerita ini sepertinya plesetan dari Gulliver’s Travels) dan membayangkan hingga berhari-hari kemudian bahwa saya berada di negeri lain dan kemudian sebetulnya di sekitar saya banyak orang-orang liliput yang bersembunyi. Atau ketika sedang musim hujan, saya dan adik-adik saya tidak bisa bermain keluar, kami sibuk bermain dengan tempat tidur tingkat kami, berkhayal seolah itu adalah kapal bajak laut yang diserang oleh rombongan hiu ganas. Atau saat kami sekeluarga masih bertempat tinggal di rumah dinas yang bertingkat, saya dan adik-adik saya membuat ‘pasar-pasaran’ di tengah tangga, berpikir bahwa seolah itu adalah pasar yang tersembunyi dan orang harus menempuh perjalanan panjang dan penuh tanjakan sebelum akhirnya dapat mencapai pasar itu.
Betapa menyenagkannya jika kita bisa melihat kepada serangga-serangga yang ada di sekitar kita tanpa perasaan jijik, namun justru tertarik untuk mendekati, walau belum tentu untuk menyentuhnya. Memperhatikan siput-siput yang saling susul. Memandang ke arah bulan dan berharap di sana ada sebuah kerajaan mistis. Saat kita bisa membuat lebih dari puluhan skenario dari satu jenis mainan yang sama. Saat buah-buahan yang jatuh dari pohonnya adalah harta yang sangat berharga. Dan ketika hujan berarti waktunya untuk menari.
Lalu ke mana semua kesenangan dan antusiasme itu hilang?
Apakah ditelan oleh usia? Atau terhanyut bersama permasalahan-permasalahan orang dewasa seperti finansial dan asmara? Apakah akhir-akhir ini saya demikian sibuk hingga waktu terasa semakin sempit untuk bercengkrama dengan dunia yang sederhana? Atau semata-mata saya hanya lupa tertawa?
Saya rasa, ketika kita sudah mulai tidak tidak peduli lagi pada segala hal yang dulu sempat membuat kita senang (baca : mainan); Ketika kita mencibir ketika melihat genangan air di jalanan yang kita lewati karena berpikir genangan itu akan mengotori sepatu atau celana kita; Ketika kita merasa jengkel saat bola sepak milik seorang anak tetangga yang tertendang mengenai kaki kita dengan pelan; Saat kita hanya sibuk merapikan rambut kita sewaktu berada di wahana komidi putar; Ketika kita disibukkan dengan telepon genggam kita hingga tak sempat menengok pada pelangi yang muncul sehabis hujan; Saat kita berpikir bahwa kita sudah tahu semua; Atau ketika hidup begitu menyesakkan karena rutinitas yang tak kunjung membahagiakan; saat itulah kita harus duduk, menarik napas panjang (kemudian melepaskannya tentu, bukan menahannya), dan meluangkan waktu untuk menengok ke belakang sejenak. Mencoba melihat sekitar kita dengan kacamata diri kita yang sudah lama tidak kita kenakan, yang sudah lama kita lupakan, kaca mata anak kecil yang penuh antusiasme dan rasa ingin tahu.
Mencoba melihat bahwa dunia (masih) bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi kita.
“That’s the real trouble with the world, too many people grow up.
They forget.
They don’t remember what it’s like to be twelve years old.
They patronize; they treat children as inferiors.
I won’t do that.
I’ll temper a story, yes.
But I won’t play down, and I won’t patronize.”
(Walt Disney)
– D! –
*Sepertinya ini dampak menonton film sekaligus dampak kebingungan mencari arah masa depan setelah lulus*
*mengangguk dengan sangat cepat*
Postingan ini mengingatkan gue waktu dulu gue main kemah2an dengan berbekal peta dunia besar, tongkatnya si papa, kipas angin yang panjang, selimut buatan nenek, semuanya disangkutin ke meja belajar si teteh (yang sekarang jadi meja belajar gue).
Trus jaman2 main orang2an dari kertas yang rumah, tempat tidur sama mobil dari kotak kaset (Astaga kotak kaset…). sampe sekarang gue masih sedih kalo inget mainan orang2an gue raib entah kemana… :(
Itu salah satu hal yang membuat gue memiliki passion yang cukup besar sama anak-anak. Mereka masih melihat dunia dengan excitement dan curiousity yang sangat besar.. I envy them sometimes.. :p
NICE POST DHEY!! :)