Soal Pasangan, Dalam Pikiran Perempuan Dewasa Muda

#30harimenulis, Day 9:

Akhir-akhir ini pembicaraan yang sering terjadi di sekitar saya dan teman-teman saya, (selain soal kasus Gayus, kenaikan harga BBM, perkuliahan, project kerjaan, buku apa yang bagus untuk dibaca, atau band mana yang akan konser di Indonesia dalam waktu dekat) bukan lagi soal mencari pacar, topik utama yang hampir selalu hadir dalam setiap kesempatan adalah soal mencari calon suami. Iya, suami. Pendamping hidup sampai akhir hayat. Berat ya kedengerannya? Saya juga suka bingung sendiri kalau sedang terjebak dalam pembicaraan tersebut.

Sejujurnya, pembicaraan-pembicaraan tersebut bukannya membantu membawa titik terang namun justru membuat hidup semakin rumit. Di usia dewasa muda ini tampaknya banyak sekali hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan. Dulu, untuk akhirnya naksir sama orang dan mempertimbangkan orang tersebut sebagai pasangan merupakan hal yang mudah dan cepat. Paling tidak, bagi saya hal-hal yang umum yang dapat menarik perhatian pertama tentu saja kemenarikan fisik, kemudian apakah orang tersebut memiliki wawasan yang luas (hal ini merupakan modal penting untuk mempertahankan alur obrolan), dan hobi atau ‘ke-bisa-an’ di suatu hal tertentu (apakah ia menekuni suatu kemampuan tertentu), tidak ketinggalan pula selera humor yang aneh bagus (saya selalu tertarik dengan orang yang tidak malu untuk terlihat konyol), ketrampilan sosial (dalam arti, sejauh mana ia bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarnya), lalu agama dan suku (untuk saya, kriteria terakhir ini lebih sering menjadi tolak ukur untuk memudahkan penyesuaian dengan orangtua dan keluarga besar).

Di saat hal-hal tersebut tetap menjadi poin penting, muncul lagi beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan yang entah kenapa semakin ke sini semakin menjadi poin penting dalam mempertimbangkan calon pasangan. Hal-hal tersebut, paling tidak di antara saya dan teman-teman saya, adalah visi-misi, gaya hidup, dan etos kerja. Saya jadi bingung sebetulnya ini kriteria untuk mencari pasangan hidup atau  untuk pemilihan kandidat Gubernur. Walau terdengar absurd dan sangat ‘mengintimidasi’, ketiga poin tersebut ternyata telah menjadi hal penting untuk dilihat dari seorang laki-laki dewasa muda (paling tidak, bagi saya dan beberapa teman).

Visi-misi. Visi yang dimaksud di sini adalah apakah orang tersebut memiliki pandangan dan tujuan hidup ke depannya, seperti apa dia ingin membentuk hidupnya (dan keluarganya nanti). Gampangnya, seperti apa rencananya, seperti apa dia akan bertanggung jawab terhadap hidupnya. Visi, kemudian harus diikuti misi. Misi, maksudnya adalah, langkah-langkah apa yang telah diambil atau paling tidak telah dia pertimbangkan untuk diambil dalam rangka mencapai visi-nya tersebut. Lewat cara apa dia merealisasikan rencananya ke depan. Apakah sudah ada langkah-langkah detail, atau masih langkah-langkah yang kabur dan luas cakupannya. Tentu saja, akan jadi pertimbangan bonus jika sudah memiliki rencana alternatif selain rencana utamanya.

Kemudian hadir pula gaya hidup. Poin ini tampaknya sangat luas cakupannya sampai saya sendiri merasa kesulitan mendefinisikannya kalau teman-teman saya mulai membicarakan mengenai hal ini. Namun, dari apa yang saya tangkap selama ini, gaya hidup banyak berkaitan pula dengan seperti apa orang tersebut dididik oleh lingkungannya sehingga dapat menjadi orang yang sekarang ini. Bagaimana pandangannya mengenai isu-isu tertentu. Hal pertama yang sering dibicarakan adalah, bagaimana orang tersebut memandang uang (serta cara mendapatkan dan mengeluarkannya). Hal ini menjadi terlalu sering dibicarakan sampai-sampai saya tidak mampu lagi mengetikkan apa yang dimaksud dengan hal ini. Gaya hidup kemudian berkaitan pula dengan bagaimana cara orang tersebut berkomunikasi, mengatasi konflik, mengambil keputusan, memperlakukan orang lain (baik yang memiliki posisi ‘di atas’ maupun ‘di bawah’nya). Serta masih banyak hal lain yang sebetulnya bisa dimasukkan ke sini.

Terakhir, etos kerja. Hal ini menjadi salah satu yang terpenting karena banyak teman yang mengeluhkan mengenai hal ini dari pasangan mereka. Etos kerjanya berbeda. Si laki-laki ternyata tidak segigih si perempuan untuk meraih tujuan demi kepentingan bersama (ke depannya). Si laki-laki lebih banyak terlihat santai sementara si perempuan lebih banyak bekerja membantu kepentingan si laki-laki. Akhir-akhir ini hal ini cukup membuat saya bersyukur karena selama ini saya selalu dipertemukan dengan laki-laki dengan etos kerja yang cukup gigih, namun juga cemas, seperti apa etos kerja pasangan saya nantinya. Etos kerja di sini juga termasuk bagaimana seseorang menghadapi kegagalan yang ditemui dalam mewujudkan rencana dan mimpi-mimpinya.

Demikian hal-hal yang akhir-akhir ini banyak sekali dibicarakan di antara perempuan-perempuan dewasa muda di usia kami yang menginjak awal 20-an. Namun, saya rasa, tidak semua hal tersebut dapat disamakan antara pasangan, karena di dunia ini ada ribuan juta DNA yang berbeda yang terbentuk sedemikian rupa akibat tumbuh di lingkungan yang berbeda-beda pula. Rasa-rasanya tidak mungkin menemukan seseorang yang betul-betul sesuai dengan harapan-harapan kita.

(to be continued)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s