Makhluk Membingungkan Bernama Emansipasi (Un-Edited Version)
21 April yang lalu kita kenal sebagai Hari Kartini, peringatan ke-132 hari kelahiran RA Kartini, seorang perempuan yang berasal dari keturunan ningrat Jawa yang kemudian menjadi pahlawan pergerakan yang sangat berani dan inspiratif pada masanya, hingga sekarang. Pikiran-pikirannya yang cemerlang dan tajam dikenal oleh dunia melalui kumpulan surat-suratnya, “Door duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)”.
Walaupun dalam surat-suratnya beliau membicarakan banyak hal mengenai ketimpangan sosial dan feodalisme Jawa, satu hal yang tampaknya menjadi sorotan utama dari buah pikir beliau adalah pandangan-pandangannya mengenai status perempuan Indonesia (khususnya Jawa) saat itu, yang bagi beliau sangatlah terbatas dalam berbagai hal. Beliau menyerukan akan adanya kesetaraan hak bagi para perempuan dan kebebasan dalam menentukan nasib mereka sendiri. Dengan demikian beliau disebut-sebut sebagai seorang feminis pelopor emansipasi perempuan.
Bicara tentang emansipasi maupun kesetaraan jender, sebetulnya sampai sekarang saya sendiri belum begitu paham apa yang sebetulnya dimaksud oleh orang-orang dengan frase tersebut. Kebetulan di hari Kartini kemarin ada dua pernyataan dari teman saya yang sangat menarik perhatian saya. Pertama, seorang teman, dengan semangat, mengemukakan bahwa seharusnya setiap perempuan tidak sekedar menjadi sosok yang hanya mengurusi rumah tangga saja. Ia juga menyebutkan bahwa ia tidak rela dan seringkali merasa gemes dengan ibu-ibu rumah tangga yang tampak sekedar menerima apa yang diminta oleh suaminya, tinggal di rumah, mengurus anak dan segala keperluan rumah. Ia sendiri berkata bahwa perempuan semestinya dapat mandiri, terutama secara finansial, oleh karena itu sebaiknya perempuan memiliki sumber penghasilannya sendiri, agar tidak direndahkan oleh kaum laki-laki.
Itu pertama, lalu kedua, seorang teman lain juga pernah menulis di account twitter-nya kurang lebih begini, “suami yang baik harusnya membiarkan istrinya memilih utk mencari penghasilan sendiri, bukan cm biarin istrinya yg ngurusin anak & rumah. Kesetaraan jender dong”. Saya sebetulnya jarang menanggapi tweet-tweet orang, tapi yang ini membuat saya tertarik. Karena iseng, setengah becanda saya tanggapi dengan “lalu apakah istri yang baik juga mau membiarkan suaminya utk mengurus rumah dan anak daripada mencari penghasilan?. Kan kesetaraan jender ;p”. Lalu apa jawabnya? Sebetulnya cukup gampang ditebak, ia menjawab “yakali dheeee huahahaha ya mestinya tau diri aja sih, laki-laki bukan sih?”.
Kedua hal tersebut menjadikan emansipasi sebuah makhluk yang membingungkan bagi saya karena tampaknya seruan-seruan mengenai kesetaraan jender menjadi sebuah jebakan bagi kita jika kita tergesa-gesa menyimpulkannya. Jika ditarik dari arti katanya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi adalah :
eman·si·pa·si /émansipasi/ n 1 pembebasan dr perbudakan; 2 persamaan hak dl berbagai aspek kehidupan masyarakat (spt persamaan hak kaum wanita dng kaum pria)
Tampak bahwa emansipasi menitikberatkan pada adanya persamaan hak, sehingga mungkin perkataan teman saya pada kasus pertama ada benarnya, bahwa setiap perempuan semestinya mendapatkan persamaan hak untuk bekerja dan memiliki sumber penghasilan sendiri.
Namun demikian, apakah itu berarti bahwa semua perempuan harus bekerja dan mencari sumber penghasilan sendiri? Apakah itu berarti tidak boleh ada perempuan yang menjadi ‘sekadar’ ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan anak-anaknya? Lalu bagaimana jika mereka memang ingin menjadi ibu rumah tangga dan status tersebut merupakan sesuatu yang mereka pilih untuk mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai perempuan, walaupun mereka tahu bahwa ada pilihan lain untuk mereka?
Lalu bagaimana dengan kasus kedua, ketika emansipasi membuat kita (saat saya menyebut ‘kita’ di sini saya merujuk kepada kaum perempuan) berfokus kepada apa yang seharusnya didapatkan oleh para perempuan, bagaimana para perempuan sepantasnya memperoleh kesempatan maupun kedudukan yang sama dengan laki-laki; baik dalam hal pekerjaan, pendidikan, perlakuan, dan sebagainya; namun kemudian seolah ‘tidak rela’ ketika keadaan tersebut kemudian dibalik dan laki-laki meminta hak-hak yang sama. Mengapa perempuan boleh meminta hak untuk bekerja dan mencari penghasilan sendiri atau memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki, namun laki-laki dinilai tidak pantas ketika meminta hak untuk tidak menjadi pencari nafkah utama dan ingin lebih merawat anak-anaknya ?
Saya tidak begitu paham seperti apa sebetulnya kesetaraan jender yang dimaksud oleh orang-orang tersebut. Namun, menurut saya, kesetaraan jender atau emansipasi bukanlah kesetaraaan dalam hal yang sifatnya harafiah saja, kesetaraan bukan berarti setiap perempuan harus bekerja dan menghasilkan uang sendiri seperti layaknya peran yang dijalankan oleh sebagian besar laki-laki. Kesetaraan tentu juga bukan berarti seluruh peraturan dalam setiap cabang olahraga yang dimainkan oleh perempuan harus disamakan seperti peraturan yang ada dalam setiap cabang olahraga yang dimainkan oleh laki-laki. Kesetaraan jender maupun emansipasi, dalam pandangan saya, adalah adanya kesadaran akan adanya hak-hak maupun kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki, dalam hal apapun. Dan semestinya kesadaran ini-lah yang dapat mencegah kita untuk terjebak dalam standard ganda yang kemudian jadi ingin enaknya sendiri saja.
Dengan kesadaran bahwa setiap orang –baik perempuan maupun laki-laki– memiliki sejumlah pilihan yang sama, memiliki kesempatan dan hak-hak yang sama untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri, sewajarnya kita tidak lagi membuat batas antara apa yang seharusnya didapatkan oleh perempuan dan apa yang didapatkan oleh laki-laki. Sehingga menjadi tidak masalah jika memang seorang perempuan lebih senang bertindak sebagai ibu rumah tangga dan tidak bekerja, jika memang ia bahagia dengan statusnya tersebut. Status ibu rumah tangga di sini tentu tidak bisa dianggap ‘lebih rendah’ dan merupakan keterpaksaan jika memang sebelumnya ia telah mengetahui bahwa ada banyak pilihan lain di luar sana untuknya, namun ia telah menetapkan apa yang membuat hidupnya berarti. Ia telah menentukan jalan hidupnya sendiri.
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan akan dipandang setara, sebagai manusia. Walaupun mungkin tidak bisa disangkal bahwa ada keterbatasan-keterbatasan yang muncul karena wujud dan fungsi biologis masing-masing. Keberadaan keduanya pun dapat saling melengkapi satu dengan lainnya tanpa terbatas pada apa yang dianggap seharusnya dan tidak seharusnya diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan.
Ini emansipasi menurut saya, bagaimana dengan Anda?
– D! –
to me,… emansipasi itu lebih kepada pemberian KESEMPATAN yang setara kepada perempuan. Ujung-ujungnya ya terserah masing-masing individu mau pilih jalan yang seperti apa. Yang penting ‘kesempatan’ itu pernah terpaparkan. .. then again,.. that’s just me .. *grin*
thanks for reading Mbak Dess :)