#PraktekInstitusi 2: Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Polres Depok
Selamat pagi, masih bercerita tentang rangkaian #PraktekInstitusi, tempat kedua yang menjadi tempat praktek kami, para calon psikolog klinis adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Polres Depok (selanjutnya akan ditulis dengan PPA).
Apa itu PPA?
Unit PPA adalah salah satu unit bagian dari Reserse Kriminal yang melayani kasus-kasus kriminal seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maupun pelecehan seksual. Tugas kami di sini adalah melakukan pemeriksaan baik terhadap tersangka pelaku dan korban kasus-kasus tersebut. Tujuan kami adalah untuk mendapatkan kelengkapan fakta hukum dan terutama hal-hal apa yang mendasari seseorang dapat bertingkah laku demikian, sehingga nantinya kami dapat memberikan surat keluar terhadap pihak kepolisian sebagai bahan pertimbangan jaksa di pengadilan dalam menjatuhkan putusan hukum terhadap suatu kasus. Singkatnya, peran kami di sini adalah sebagai seorang saksi ahli yang membantu para penegak hukum.
Banyak sekali pengalaman yang menarik di sini, berhubung ternyata bagi kami, paling tidak bagi saya, ini adalah dunia yang baru dan luar biasa berbeda dengan dunia yang biasa kami geluti. Di unit PPA ini kami dipanggil apabila sedang ada kasus yang ditangani, dan kami terkejut menyadari begitu banyaknya kasus-kasus dan pengaduan-pengaduan yang masuk setiap harinya ke unit PPA. Dalam dua ruangan kecil, berbagi dengan bapak dan ibu penyidik kami melakukan pemeriksaan yang diselingi oleh suara gertakan-gertakan interogasi para penyidik yang juga sedang memeriksa tersangka pelaku maupun korban.
Di sini, yang segera saya sadari adalah betapa berbedanya pendekatan yang dilakukan oleh para penegak hukum, dengan kami, para (calon) psikolog, dimana hal ini seringkali membuat saya salah tingkah dan tidak tahu seperti apa harus menghadapi klien yang saat itu sedang saya periksa. Di satu sisi kami harus tetap menjaga kesejahteraan psikologis klien yang sedang kami periksa dengan tetap menghormati dan bersikap sopan terhadapnya serta senantiasa mempraktekkan kemampuan empati yang memang senantiasa dituntut dari kami. Namun di sisi lain, kami juga harus mengingat-ingat untuk menjaga diri agar tidak terbawa dalam cerita tersangka (dan mungkin juga korban) yang bisa saja dibuat-buat dan diceritakan dengan cara yang sangat manipulatif.
Saya menyadari bahwa peran tes-tes psikologis sebagai alat bantu menjadi sangat penting sekali di sini. Kesulitan berkomunikasi dengan klien-klien di PPA, baik itu karena inteligensi yang rendah (percayalah, kami menemui banyak sekali kasus dimana tersangka sendiri bahkan tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, apa konsekuensi hukumnya, dan mereka juga tidak mampu menjabarkan dengan baik setiap kejadian yang mereka alami, mungkin juga karena kendala bahasa dan kata-kata yang serba terbatas dan penggunaan istilah yang berbeda), maupun karena mereka yang bersikap manipulatif terhadap pemeriksa. Proses wawancara menjadi sesuatu yang sangat melelahkan bagi saya karena sulit sekali menggali informasi yang ingin saya ketahui mengenai kejadian perkara dan mengenai latar belakang klien itu sendiri. Saya sangat bersyukur masih ada tes-tes yang membantu saya, karena jika tidak maka saya harus mengulangi pertanyaan yang sama sebanyak lebih dari 3 kali dengan mengubah kata-katanya agar klien saya dapat mengerti yang saya maksud.
Selain kesulitan tersebut, kesulitan lain juga muncul berkaitan dengan perbedaan norma-norma yang bagi saya, dan juga bagi teman-teman saya yang lain (kami sering berbagi mengenai kasus yang sedang kami tangani, tentu dengan tetap berusaha menjaga identitas klien), sangat berbeda dan sulit sekali kami pahami. Di sini kami belajar untuk melihat bahwa ada saja seorang pemuda yang memutuskan untuk membina hubungan romantis (yang mereka bilang serius) dengan seorang gadis remaja ‘hanya’ setelah proses perkenalan melalui sms iseng dan saling telepon selama 3 hari saja. Di sini kami juga melihat bahwa orang bisa saja melakukan persetubuhan di sebuah kebun kosong di sore hari. Atau seorang kakek yang menyetubuhi anak dan cucunya karena alasan syarat pesugihan. Atau seorang laki-laki dewasa, yang merupakan ayah dari 3 orang anak perempuan, yang melihat seorang anak kecil perempuan berjalan-jalan di depannya dan pikiran pertama yang terlintas di benaknya adalah, “bisa dipake tuh kayaknya”. Sedangkan anak-anaknya di rumah disuruhnya mengenakan jilbab. Dan masih banyak lagi hal-hal yang menurut kami sangat ‘menarik’ untuk digali.
Logika berpikir yang umumnya saya gunakan tampaknya dimentahkan di sini karena proses berpikirnya menjadi sangat berbeda dengan yang umumnya kami kenal dan gunakan.
Berempati dengan para pelaku maupun korban menjadi suatu tantangan tersendiri bagi saya di sini.
Bagi teman-teman yang tertarik untuk mendalami psikologi klinis, dan menyukai proses-proses penyelidikan polisi seperti yang ada di film-film (kami menyebutnya psikologi forensik), ini bisa tempat yang mungkin kalian sukai sebagai ajang berlatih kepekaan kalian.
Selain hal-hal di atas, satu hal lain yang membuat saya agak pusing adalah melihat betapa banyaknya laporan pengaduan tindak kriminal semacam ini sehari-harinya di PPA. Dan itu baru yang terlaporkan saja. Bayangkan berapa banyak di luar sana kasus-kasus semacam ini terjadi? Intervensi seperti apa yang bisa kami lakukan untuk melakukan pendekatan perubahan tingkah laku terhadap orang-orang ini? Padahal kita pun tahu, bahwa konsekuensi hukum tampaknay tidak cukup dikenakan pada mereka hingga akhirnya jera karena kita pun tahu mereka bisa berkelit dengan alasan keadaan yang sulit, dan memang harus diakui sulit.
Ini menjadi pertanyaan yang masih berputar di kepala saya sampai sekarang.
– D! –