Sentimental
Merasa bersalah, tidak bisa dipungkiri, mungkin perasaan tersebut yang paling sering muncul dalam diri saya. Hal itu pula yang dalam setahun belakangan ini menjadi motor penggerak saya untuk terus menjalani tantangan yang mungkin ‘sedikit berbeda’ dari yang dihadapi teman-teman seumuran saya. Sedikit sekali yang tahu bahwa saya punya perasaan bersalah yang sangat besar dan saya merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam setahun belakangan ini. Mereka yang tahu mengatakan bahwa perasaan bersalah bukanlah alasan yang benar bagi kita untuk bertahan menjalankan sesuatu. Cepat atau lambat perasaan tersebut akan menggerogoti diri kita dari dalam seperti belatung hidup sehingga alasan-alasan lain yang tadinya ada ikut serta hilang.
Tidak pernah ada yang menghakimi saya atau menilai perbuatan-perbuatan atau keputusan yang saya ambil sebelumnya adalah penyebab semua ini terjadi. Sama sekali tidak ada. Banyak faktor lain di luar keputusan-keputusan saya semata. Namun demikian saya tidak bisa mencegah diri saya sendiri berhenti untuk berpikir demikian. Saat bagun pagi, saat saya memandang wajah ayah saya, saat saya bicara dengan adik-adik saya, setiap saya shalat, hingga sesaat sebelum saya memejamkan mata untuk tidur. Terlalu banyak “seandainya dulu begini, seandainya dulu tidak begitu” hadir setiap harinya dalam benak saya sehingga saya seringkali memohon setengah mati agar pikiran-pikiran tersebut didiamkan.
Ijinkan saya menulis di sini. Sedikit sekali yang saya ajak bicara soal ini, karena setahun belakangan ini saya memang lebih banyak menutup diri. Saya merasa semuanya kini sudah terlambat. Apa yang saya rasakan adalah dahulu saya tidak pernah menjadi anggota keluarga yang baik, mungkin khususnya terhadap ayah saya. Saya ada, namun tidak pernah betul-betul hadir bagi beliau dan seluruh isi rumah. Terlalu sibuk dengan dunia saya sendiri dan mimpi-mimpi ideal saya hingga tidak meluangkan waktu untuk memahami apa yang beliau butuhkan dari saya. Sibuk ikut kegiatan ini itu dan berkoar-koar mengenai membantu banyak orang lewat jalur profesi yang saya ambil, namun bermanfaat bagi orang terdekat saya pun saya tidak bisa. Saya lebih banyak duduk diam menjadi penonton menyaksikan apa saja yang ayah lakukan tanpa sadar beliau berusaha menyelamatkan kapalnya yang karam pelan-pelan tenggelam. Tanpa mencoba mengamati, bahwa ada banyak kesepian di mata beliau, bahwa ada banyak hal yang sebenarnya ingin beliau minta dari anak-anaknya, namun tidak sampai hati beliau sampaikan.
Hingga datang hari dimana beliau kemudian jatuh sakit.
Dan saya baru terhenyak dari bangku penonton.
Mendapati kapal kami sudah tenggelam setengahnya dengan banyak kebocoran di sana sini.
Kapal kami terlanjur bolong, nahkodanya harus undur diri.
Dunia saya berputar 180 derajat.
Hati saya terluka karena tidak pernah tahu sebelumnya.
Orang bilang saya tidak harus menjadi pihak yang menebus semuanya. Teman-teman saya yang religius bilang ini adalah cobaan dari Tuhan. Teman-teman saya yang psikolog bilang ini bagian dari proses grieving yang terjadi lambat laun. Orang bilang ini bagian dari tumbuh dewasa, dimana artinya kita menanggung konsekuensi dari semua keputusan kita. Orang bilang hidup tidak bisa diduga-diduga, saat kita mengira semuanya baik-baik saja, saat itulah ia memutar dirinya ke arah yang tidak terduga. Kita kemudian jadi objek lawakan bagi seluruh semesta.
Orang bilang macam-macam.
Tapi mereka belum pernah kasih tahu saya bahwa ada masanya semuanya terasa begitu berat
Begitu menyakitkan
Begitu sepi
……