Category: The movies and lessons they bring
Bound, Bound, and Rebound ♥
Now, sometimes you’re up and sometimes you’re down.
When you find that you’re down, well just look around.
You still got a body, good legs and fine feet
Get your head in the right place, and hey, you’re complete.
Salah satu video dari koleksi film pendek Pixar ini sangat menghibur kegalauan :’)
Tentang Tanda Tanya
Kemarin saya (akhirnya, setelah 2 bulan tidak pergi ke bioskop) menonton sebuah film berjudul Tanda Tanya(?) karya Hanung Bramantyo bersama teman saya, Melita. Sejak awal kemunculan sinopsisnya di beberapa media cetak, saya sudah tertarik untuk menyaksikan film ini, mungkin karena judul yang ia kenakan membangkitkan rasa ingin tahu saya. Dan benar saja, film ini memang ‘menarik’. Film Tanda Tanya (?) mencoba mengangkat masalah yang sangat potensial menyebabkan konflik antar manusia di negara kita, ya, Tanda Tanya mencoba untuk memberi sudut pandang baru mengenai perbedaan di Indonesia. Perbedaan agama, suku, keturunan.
Berlatar tempat di kota Semarang, tepatnya di sebuah pemukiman yang disebut sebagai Pasar Baru, hiduplah sosok individu-individu yang berusaha untuk menemukan jawaban atas tanda tanyanya masing-masing. Surya, seorang muslim yang sulit mendapatkan pekerjaan dengan honor bagus, kemudian mengalami pertentangan yang dirasakan cukup berat ketika ia mendapat tawaran peran sebagai Yesus dalam sebuah drama Gereja. Sedangkan Soleh, seorang lelaki muslim yang taat pada agamanya, merasa frustrasi tidak punya pekerjaan, sementara ia ingin menunjukkan dedikasinya di mata istri, keluarga, juga agamanya. Ada pula Rika, seorang perempuan, sekaligus ibu muda yang harus menyesuaikan diri dengan dua perubahan hidup yang cukup besar, perceraian, dan keputusannya untuk pindah agama; juga bagaimana ia harus berhadapan dengan Abi, anaknya yang tidak ikut pindah agama, juga tetangga-tetangga sekitarnya yang nyinyir. Tidak ketinggalan pula Ping Hen (atau Hendra), lelaki keturunan Tiong Hoa (atau Cina? Ah, saya tidak begitu paham implikasinya bagaimana soal kedua sebutan ini) yang mencoba menyelesaikan konfliknya sendiri, dengan keluarganya, juga dengan tanda tanya-tanda tanya dalam dirinya yang belum ia hadapi (di akhir film, Ping Hen kemudian menghadapi tanda tanya-nya dan memutuskan sendiri kemana ia mencari jawabnya).
Selain mereka, hadir pula tokoh-tokoh lain yang memiliki pergolakan batin masing-masing, seperti ayah Ping Hen yang berusaha berdamai dengan anaknya; Menuk, perempuan sholehah yang belajar bahwa cinta bisa tumbuh dalam keyakinan yang berbeda, juga hal-hal lain yang muncul dalam film dan semakin membuat film ini semakin menarik untuk disimak. Tanpa berusaha mengomentari perihal teknis film (berhubung saya juga nggak ngerti apa-apa soal pembuatan film atau sinematografi) dan terlepas dari opini saya soal sisi kehidupan Hanung Bramantyo yang banyak ditampilkan di media massa, saya merasa cukup menyukai film ini. Menurut saya pribadi, film-film seperti ini mungkin adalah film-film yang kita butuhkan. Film yang ‘memaksa’ kita untuk melihat sudut pandang yang lain dan membuat kita bertanya ke dalam diri sendiri. Bertanya soal keberanian kita menghadapi tanda tanya itu sendiri. Khususnya kita dalam konteks sebagai orang-orang Indonesia yang setiap harinya bersinggungan dengan perbedaan.
Sejauh mana kita berani bertanya pada diri sendiri mengenai keyakinan kita akan sesuatu sampai kita berani mempertanyakan keyakinan orang lain yang berbeda dengan keyakinan kita?
Saya sendiri cukup ‘tersepet’ di sepanjang film Tanda Tanya ini. Sejak usia saya menginjak 20 tahun memang saya banyak memikirkan soal konsep ketuhanan dan agama. Sejak lahir saya beragama Islam, belajar untuk menunaikan ibadah shalat 5 waktu sudah sejak saya balita. Saya belajar membaca Iqra dan sempat menjuarai lomba membaca ayat-ayat pendek ketika masih SD. Saya belajar menunaikan ibadah puasa setiap bulan Ramadhan sejak saya masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Berbelas-belas surat pendek saya hapalkan, berpuluh ayat Al-Quran saya lafazkan, sekaligus dengan tajwid-tajwid yang menyertainya. Sejauh itu pula saya tidak pernah berhenti bertanya, sedalam apa keyakinan saya atas apa yang saya hapal di luar kepala tersebut? Seperti apa penghayatan saya terhadap ritual yang sudah sejak lahir saya kenal sebagai media untuk berkomunikasi dengan Tuhan?
Setelah menonton film ini ada semacam rasa rindu, yang terus terang sangat mendalam. Rindu untuk meneruskan pencarian saya akan hakikat Tuhan, rindu untuk dapat berdiskusi mengenai maknya-Nya dalam diri dan kehidupan saya. Dan juga mengapa saya membutuhkan-Nya. Mungkin saya mencoba menemukan Tuhan dalam segala cara. Mungkin saya mencoba menalar Tuhan dengan segala keterbatasan saya. Jika meminjam kalimat-kalimat yang digunakan oleh Melita, mungkin ini semua karena :
…saya tidak sampai hati membiarkan nalar saya luluh dalam keyakinan yang transenden. Mungkin karena saya takut berubah jadi seorang fundamentalis, yang sering kali saya temukan kurang kasih sayang terhadap mereka yang tidak berkeyakinan sama, yang tidak mengijinkan penjelajahan akan keraguan terhadap iman. Mungkin semata karena saya memang belum rela menonaktifkan fungsi berpikir otak saya ini…
Seperti Melita pula, selama ini saya menemukan keasyikan dan keindahan tersendiri ketika saya mencoba mengenal bentuk keimanan orang lain, walau tidak jarang pula saya menjadi takut dan tergoda untuk menghakimi, well, some people say judging is inevitable, but discriminating is not. Terus terang saya juga kagum kepada orang-orang yang telah berani menentukan, dan kemudian menemukan kedamaian masing-masing dalam jalan yang mereka tentukan tersebut. Orang-orang yang berani untuk berkonfrontasi, dengan diri mereka sendiri. Orang-orang yang berani untuk menghadapi tanda tanya dalam diri mereka. Sementara saya, jika boleh dinilai, mungkin sebetulnya cupu, atau mungkin juga mengulur-ulur waktu. Mungkin saya masih menunggu. Hingga kemudian tiba suatu saatnya nanti, seperti Ping Hen dalam film tersebut, agar saya berani untuk bertanya,
“Apakah Islam itu, Pak Ustadz?”
– D! –
On Growing Up
Senangnya bisa menulis di sini lagi setelah akhirnya berhasil lulus menjadi sarjana psikologi (walaupun masih harus membereskan revisi skripsi dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya administratif). Selain sidang skripsi, satu hal yang akhir-akhir ini membuat saya sangat senang adalah :
TOY STORY 3
“NO TOY GETS LEFT BEHIND”
Saya menonton film ini kira-kira tanggal 18 atau 19 Juni, dan menangis dengan sukes tanpa malu-malu. Terutama saat adegan dialog antara Andy dan Bonnie. Tiba-tiba rasanya sangat kangen pada semua mainan saya sewaktu kecil.
Saya jadi terpikir (lagi-lagi tentu saja karena walau saya selalu disibukkan oleh skripsi, sepertinya saya masih meluangkan banyak waktu untuk bengong, entah mengapa. ‘Bengong is in my blood‘, tampaknya demikian motto saya nantinya), seiring dengan bertambahnya usia saya, seberapa banyak saya telah tumbuh? Berapa banyak hal yang telah saya dapatkan?
Terlebih lagi, seberapa banyak saya telah berubah dan berapa banyak hal yang telah hilang dari saya?
Satu hal yang saya rasakan mulai hilang seiring dengan bertambahnya usia saya adalah, rasa ‘antusiasme terhadap dunia’. Saya tidak tahu apabila ada terminologi lain yang lebih tepat untuk menggambarkan hal yang saya coba sampaikan di sini, namun ‘antusiasme terhadap dunia’ yang saya maksud di sini adalah rasa antusias dan selalu dipenuhi rasa ingin tahu terhadap segala perwujudan bentuk yang ada di sekitar kita. Baik itu terhadap makhluk hidup maupun bukan, baik itu terhadap suatu benda baru maupun benda lama, baik itu terhadap sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk. Umumnya antusiasme ini sangat menggebu saat usia kita masih sangat muda. Dengan adanya antusiasme, bagi seorang anak, hidup ini tidak pernah membosankan.
Saya ingat saat-saat di mana saya bisa sangat senang hanya dengan berbekal satu buah buku yang berisikan cerita petualangan seorang gadis cilik yang tersasar ke negeri liliput (cerita ini sepertinya plesetan dari Gulliver’s Travels) dan membayangkan hingga berhari-hari kemudian bahwa saya berada di negeri lain dan kemudian sebetulnya di sekitar saya banyak orang-orang liliput yang bersembunyi. Atau ketika sedang musim hujan, saya dan adik-adik saya tidak bisa bermain keluar, kami sibuk bermain dengan tempat tidur tingkat kami, berkhayal seolah itu adalah kapal bajak laut yang diserang oleh rombongan hiu ganas. Atau saat kami sekeluarga masih bertempat tinggal di rumah dinas yang bertingkat, saya dan adik-adik saya membuat ‘pasar-pasaran’ di tengah tangga, berpikir bahwa seolah itu adalah pasar yang tersembunyi dan orang harus menempuh perjalanan panjang dan penuh tanjakan sebelum akhirnya dapat mencapai pasar itu.
Betapa menyenagkannya jika kita bisa melihat kepada serangga-serangga yang ada di sekitar kita tanpa perasaan jijik, namun justru tertarik untuk mendekati, walau belum tentu untuk menyentuhnya. Memperhatikan siput-siput yang saling susul. Memandang ke arah bulan dan berharap di sana ada sebuah kerajaan mistis. Saat kita bisa membuat lebih dari puluhan skenario dari satu jenis mainan yang sama. Saat buah-buahan yang jatuh dari pohonnya adalah harta yang sangat berharga. Dan ketika hujan berarti waktunya untuk menari.
Lalu ke mana semua kesenangan dan antusiasme itu hilang?
Apakah ditelan oleh usia? Atau terhanyut bersama permasalahan-permasalahan orang dewasa seperti finansial dan asmara? Apakah akhir-akhir ini saya demikian sibuk hingga waktu terasa semakin sempit untuk bercengkrama dengan dunia yang sederhana? Atau semata-mata saya hanya lupa tertawa?
Saya rasa, ketika kita sudah mulai tidak tidak peduli lagi pada segala hal yang dulu sempat membuat kita senang (baca : mainan); Ketika kita mencibir ketika melihat genangan air di jalanan yang kita lewati karena berpikir genangan itu akan mengotori sepatu atau celana kita; Ketika kita merasa jengkel saat bola sepak milik seorang anak tetangga yang tertendang mengenai kaki kita dengan pelan; Saat kita hanya sibuk merapikan rambut kita sewaktu berada di wahana komidi putar; Ketika kita disibukkan dengan telepon genggam kita hingga tak sempat menengok pada pelangi yang muncul sehabis hujan; Saat kita berpikir bahwa kita sudah tahu semua; Atau ketika hidup begitu menyesakkan karena rutinitas yang tak kunjung membahagiakan; saat itulah kita harus duduk, menarik napas panjang (kemudian melepaskannya tentu, bukan menahannya), dan meluangkan waktu untuk menengok ke belakang sejenak. Mencoba melihat sekitar kita dengan kacamata diri kita yang sudah lama tidak kita kenakan, yang sudah lama kita lupakan, kaca mata anak kecil yang penuh antusiasme dan rasa ingin tahu.
Mencoba melihat bahwa dunia (masih) bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi kita.
“That’s the real trouble with the world, too many people grow up.
They forget.
They don’t remember what it’s like to be twelve years old.
They patronize; they treat children as inferiors.
I won’t do that.
I’ll temper a story, yes.
But I won’t play down, and I won’t patronize.”
(Walt Disney)
– D! –
*Sepertinya ini dampak menonton film sekaligus dampak kebingungan mencari arah masa depan setelah lulus*
Is It ‘Only’ A Day?
Couple days ago I watched ‘Shrek Forever After ‘ , the final chapter of Shrek movies, with my youngest sister. In this movie, feeling unhappy with his current life, Shrek made a pact with a wizard (a sneaky one), Rumplestiltskin, to have a day where he could have everything he wants, to be a hideous ogre whom the villagers scared of, that is. So that he could have a time off from his family duty, to give himself a leisure time to be drown in the mud all day long, doing nothing, etc, etc. To get a day off like that, Shrek had to exchange one day of his life, hence a day for a day it is. Then, Rumplestiltskin had one day from those days Shrek had in his life and got to do anything to it. Shrek finally found himself in an alternate version of far far away, where ogre are hunted, Rumplestiltskin is king, and Shrek and Fione were never met each other.
Oh well, since I don’t want to be a spoiler in here, I won’t continue to talk about the movie, you guys have to see the end of it yourself. It’s a movie for children, so of course it ended happily.
Anyway, what I’m curious about is the pact itself, I mean, what is it like to lose one day from your life, though that was the day that had already passed? Let’s say it wasn’t one of our considered ‘important days’, it was just an ordinary day, like, a day when your friend greeted you in the school or in the office, the day when one of your friend offered you his tuna sandwich or asked you to fill for him in his statistic class.
A day of which we don’t even have any memories of.
I just wondering, will our life changed if we lost that day? Will we change the way we perceive your life now if we lost one of our days back then? What lesson will we miss if we lost it?
Will we ever be the same?
PS : I’d really like to put some pictures from the movie, but this internet connection is seriously killing me.
– D! –
Kata Soe Hok Gie mati muda itu yang paling enak?
Saya adalah tipe orang yang jika sangat terkesan terhadap suatu hal, baik itu merupakan lagu, film, kejadian, maupun orang, maka saya cenderung sulit lupa dengan hal itu. Demikian hal yang terjadi pada saya ketika menonton film “GIE” beberapa tahun silam. Saya ingat pada adegan terakhir, ketika tokoh utama dikisahkan telah berpulang ke rahmatullah lalu ditampilkan visualisasi ia yang berjalan di pantai, invoice yang muncul adalah pendapat Soe Hok Gie mengenai ‘anugrah yang terbaik adalah mati muda‘ dan memang demikian yang terjadi padanya, beliau meninggal pada usia yang masih muda, tentu dengan meninggalkan sesuatu.
Dalam hal ini entah mengapa saya kurang setuju dengan pendapat Soe Hok Gie. Meninggal pada usia muda, katakanlah usia remaja atau dewasa muda menurut saya merupakan sesuatu yang tidak begitu menyenangkan (walaupun tentu kita tidak dapat menentukan apakah mati itu menyenangkan atau tidak, karena tidak ada orang yang mampu mengemukakan pendapat lebih enak hidup atau mati setelah mereka meninggal kan?). Saya tidak pintar bicara tentang kematian, namun menurut saya pribadi mati muda itu ‘kentang’ atau ‘kena tanggung’.
Begini, dalam usia remaja maupun memasuki awal dewasa muda kita memasuki masa dimana kita ingin menemukan siapa diri kita yang sebenarnya. Di usia remaja kita melakukan banyak sekali pemberontakan, terhadap orangtua, terhadap aturan-aturan yang ada, terhadap skema yang telah kita miliki sebelumnya, intinya kita berada pada masa bimbang dan huru-hara. Kita seringkali merasa sebal dan marah, diperlakukan tidak adil, tidak bisa mengekspresikan diri dan idealisme karena norma- norma maupun aturan yang ada. Seringkali kita tidak mengerti mengapa peraturan ini dibuat, mengapa orangtua kita berbuat hal seperti itu kepada kita, dan sebagainya dan sebagainya.
Saya kemudian membayangkan, jika seseorang meninggal pada usia muda, atau katakanlah usia remaja atau memasuki dewasa awal, maka orang tersebut tidak akan pernah tahu kenapa orangtuanya melakukan hal seperti itu, kenapa ada peraturan ini dan itu dan mengapa sebagai remaja kita ‘selalu’ memberontak. Kita tidak pernah tahu betapa sulitnya menjadi orangtua, dan sebagainya dan sebagainya. Kita mungkin juga belom bisa melihat prestasi apa yang bisa kita buat untuk mengukir eksistensi kita di dunia, untuk membalas budi kepada orangtua (saya termasuk orang yang percaya bahwa kita harus membalas budi orangtua), dan masih banyak hal lain. Mungkin yang paling tidak mengenakkan ketika meninggalkan dunia dalam usia yang masih remaja (atau muda) adalah kita masih belum menemukan jawaban dari sebagian besar keresahan yang ada dalam diri kita. Seperti itulah yang saya pikir terjadi pada Soe Hok gie.
Yah, walaupun begitu, kita juga toh tidak bisa memilih waktu kematian kita kan?
– D! –