Category: The ups and those days I'm living in

Tentang Menginspirasi

Bagi saya, salah satu kesempatan yang paling berarti yang bisa didapatkan oleh setiap orang selama hidupnya adalah kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk memberi kepada orang lain. Sebetulnya keduanya merupakan suatu hal yang saling berhubungan timbal-balik satu sama lain. Saya sendiri akhir-akhir ini selalu berusaha memandang setiap kejadian di hidup saya sebagai hal baru yang senantiasa memberikan sesuatu untuk dipelajari, untuk kemudian kita bagikan lagi, untuk kita berikan lagi kepada orang lain. Dan salah satu wujud pemberian yang saya rasa paling bermakna dan akan terus terasa dampaknya bagi orang yang menerima adalah memberikan inspirasi.

Sesuatu yang mampu menginspirasi, berarti mampu memberikan suatu pandangan baru bagi orang lain, kemungkinan pula mampu menggerakkan orang lain dan mampu membuat orang lain berbuat sesuatu. Bahkan pada titik-titik tertentu, sebuah inspirasi dapat mendorong seseorang untuk memulai suatu perubahan ke arah yang lebih baik bagi banyak orang. Memberikan inspirasi beda halnya dengan memberikan suatu hal yang sifatnya tangible. Tanpa mengecilkan arti benda-benda yang sifatnya tangible, inspirasi merupakan suatu pemberian yang cenderung memiliki pengaruh yang kuat, tahan lama, serta dapat ditularkan. Ini semata-mata pendapat saya berdasarkan hasil pengalaman semata, belum ada data yang mendukungnya.

Menjadi seseorang yang dinilai oleh orang lain mampu memberikan inspirasi merupakan suatu penghormatan, paling tidak demikian pikir saya jika itu terjadi pada saya. Mendapatkan pernyataan tersebut seolah dapat memberi legitimasi bahwa kita telah mampu ‘menggerakkan’ orang lain dan mungkin juga dapat membuat perubahan, sekecil-kecilnya kita telah membuat perubahan di dalam diri orang yang mengaku telah mendapat inspirasi dari kita tersebut. Bilang saya norak, namun rasanya sangat senang bila itu terjadi pada saya dan hal tersebut bisa membuat saya tersenyum sepanjang hari hanya dengan mengingatnya. Walaupun demikian, pernyataan dari orang tersebut juga sekaligus menjadi semacam ‘tanggung jawab’ yang harus saya emban dan cambuk bagi saya untuk terus berkembang menjadi versi diri saya yang lebih baik lagi. Di satu sisi menyenangkan, di sisi lain justru membuat saya semakin banyak berpikir.

Orang-orang tersebut mungkin tidak mengetahui seperti apa saya dalam kehidupan saya sehari-harinya. Jika pun mereka tahu, mungkin itu tidak penting bagi mereka dan hanya bagian dari diri saya yang mereka anggap inspiratif saja yang mereka terima sebagai diri saya yang sebenarnya. Hal ini bisa membuat salah kaprah. Karena seringkali orang lupa bahwa saya pun memiliki kekurangan-kekurangan. Serta seringkali kita lupa bahwa inspirasi bisa datang dari sumber inspirasi-inspirasi yang lain dan tidak begitu saja terlahir. Demikian juga pada saya, yang banyak terinspirasi oleh orang lain. Bahkan oleh orang-orang yang yang mungkin sempat mengaku mendapatkan inspirasi dari saya.

Saya seringkali terinspirasi oleh orang-orang yang memperjuangkan tujuannya, orang-orang yang berjuang atas apa yang mereka inginkan. Those are the people who earn what they want or what they need. Orang-orang ini adalah mereka yang berani melakukan hal-hal yang mungkin bukan jalan yang banyak diambil oleh banyak orang lain.Misalnya saya, saya terinspirasi oleh teman saya yang mati-matian mengejar beasiswa S3 demi mencari ilmu dan membagikannya kepada mahasiswa-mahasiswa di Indonesia padahal ayah-ibunya dulu pernah ditolak bersekolah di universitas negeri manapun karena keturunan Tionghoa dan masih berstatus WNA, saya terinspirasi oleh teman saya yang rela mengajar di pedalaman padahal memperoleh tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan minyak dan gas internasional, saya terinspirasi oleh para pekerja-pekerja pembangkit nuklir di Fukushima yang mengorbankan keselamatan mereka sendiri demi menyelamatkan masyarakat banyak, atau mungkin juga orang-orang yang bisa tetap hidup dengan mempertahankan idealisme mereka. Selain itu, saya juga terinspirasi oleh laku-laku sederhana yang justru seringkali dilupakan oleh orang, seperti beberapa orang yang tetap konsisten menyeberang di zerbra cross di jalan Margonda yang pengemudi kendaraan bermotornya tidak berperi-pejalankaki-an, atau orang-orang yang tidak pernah lupa mengucapkan ‘tolong’, ‘terima kasih’, dan ‘maaf’, orang-orang yang selalu tepat waktu dan menghargai uang, atau orang-orang yang selalu ingat untuk memberi kabar pada orang tuanya setiap kali pergi sampai larut malam dan tidak lupa membelikan oleh-oleh makanan.

Bagi saya, inspirasi bisa datang dari mana saja dan siapa pun bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya. Inspirasi itu hidup dan memberi hidup bagi yang orang yang membagi dan menerimanya, oleh karena itu kita juga bertumbuh dengannya. Tergantung bagaimana kita dapat terbuka dalam menyikapinya. Sangat baik apabila inspirasi dapat ditanggapi dengan tidak berdiam diri, dan justru membuat kita tertantang menjadi orang-orang yang kemudian dapat menelurkan inspirasi-inspirasi selanjutnya.

Membuat orang lain terkesan dengan suatu ide yang kita kemukakan mungkin merupakan suatu hal yang hebat, namun mampu membuat orang terinspirasi untuk kemudian mau berpikir lebih lanjut dan melahirkan ide-ide baru    (yang mengantarkan pada perubahan konkret) dari ide yang semula kita kemukakan adalah prestasi paling tinggi yang dapat dicapai oleh setiap orang.

Ini pendapat saya. Bagaimana menurutmu?

Melongok Masa Lalu Sebagai Pilihan Tempat Rekreasi

#30harimenulis, Day 2:


Sore ini saya ingin membicarakan soal tempat rekreasi.

Menurut KBBI (versi online :p) rekreasi adalah:

[n] penyegaran kembali badan dan pikiran; sesuatu yg menggembirakan hati dan menyegarkan spt hiburan, piknik: kita memerlukan — setelah lelah bekerja

Berasarkan definisi tersebut, maka saya simpulkan, tempat rekreasi adalah suatu tempat dimana kita bisa untuk kembali gembira dan  kembali segar setelah lelah bekerja. Beberapa orang memiliki tempat-tempat rekreasi langganan yang selalu mereka kunjungi setiap kali mereka merasa suntuk atau membutuhkan hiburan. Mungkin teman-teman yang tingga di kota besar seperti Jakarta memilih mall atau pusat perbelanjaan serupa sebagai tempat rekreasi mereka, beberapa orang memilih untuk menghabiskan waktu mereka di club-club untuk menikmati minuman dan dentuman musik, beberapa lainnya mungkin memilih menghabiskan waktu mereka di cafe, lounge, bar, atau restoran-restoran sambil berbincang dengan teman-teman mereka.

Seperti mungkin banyak orang, saya memilih bioskop sebagai tempat rekreasi saya. Saya menjadikan film sebagai hiburan yang dapat membuat saya senang, kembali segar, sekaligus juga memberi saya pelajaran. Selain bioskop, akhir-akhir ini saya baru menyadari bahwa saya senang bepergian ke museum.  Banyak teman saya yang tidak bisa menikmati kunjungannya ke museum karena menurut mereka itu sangatlah membosankan, lagipula, museum di Jakarta tidak terurus dengan baik, menurut mereka. Untuk pendapat yang kedua saya cukup setuju. Walaupun demikian, saya tetap senang mengunjungi museum. Saya senang menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan melihat-lihat koleksi pajangan yang terdapat di setiap museum. Hal ini mungkin juga sebagai akibat dari kebiasaan yang diterapkan oleh orangtua saya sejak kecil yang lebih senang mengajak anaknya bepergian ke tempat-tempat bersejarah dibandingkan membelikan mainan atau mengajak pergi ke toko-toko.

Mungkin terdengar tidak umum, namun saya menikmati waktu-waktu saya menyusuri ruangan-ruangan di museum. Dengan membaca dan mengamati setiap koleksi yang terdapat di sana saya merasa belajar mengenai suatu bentuk kehidupan yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Saya belajar beragam cara hidup dan saya belajar bahwa cara hidup seperti itu ada, atau setidaknya pernah ada. Lewat mengunjungi museum pula saya belajar menghargai asal-usul yang menyebabkan segala sesuatunya dapat menjadi seperti sekarang ini. Saya punya kebiasaan meromantisasi penelusuran saya di museum dengan membayangkan betul-betul bahwa benda-benda tersebut pernah menjadi pihak yang terlibat sesuatu yang mengubah sejarah umat manusia. Saya membayangkan bahwa benda-benda antik tersebut menjadi saksi bisu segala sesuatu yang tidak terekam oleh alat apapun selain memori manusia yang kita sama-sama tahu, banyak kekurangannya.

Setiap kali berkunjung ke museum, waktu seolah berhenti dan semua kehidupan yang serba cepat di masa sekarang ini seperti tergantikan dengan bayangan-bayangan sejarah yang saya sendiri juga tidak tahu apakah betul-betul ada. Menarik sekali. Seolah saya dibiarkan beristirahat dari waktu yang terus memburu untuk menoleh ke belakang dan belajar dari apa yang pernah terjadi. Selain itu, museum juga menjadi tempat yang ideal untuk duduk berlama-lama dan bengong, hal favorit saya.

Oleh karena itu saya senang sekali ketika tahun 2010 ditetapkan sebagai tahun berkunjung ke museum dan beberapa museum tampak lebih baik kondisinya setelah direnovasi, Museum Wayang yang berada di kompleks museum Taman Fatahillah dan Museum Nasional (Museum Gajah) yang berada persis di seberang Monas, adalah beberapa diantaranya. Saya banyak berharap bahwa pemerintah kota Jakarta dapat meningkatkan pelayanan dan juga memperbaiki kondisi museum-museum yang tersebar di kota ini.  Selain itu, beberapa tahun belakangan ini juga semakin marak bermunculan komunitas-komunitas yang memberi sarana bagi teman-teman sesama penikmat mengunjungi museum untuk saling berkumpul dan berbagi kegiatan. Karena menurut saya, penting untuk mengenalkan sejarah kepada adik-adik yang usianya lebih belia dibanding saya, agar mereka belajar mengenai asal-usul kehidupan yang mereka jalani seperti sekarang ini.

“If you would understand anything, observe its beginning and its development”.
( Aristotle)

 

– D! –

Darah Tinggi atau?

#30harimenulis, Day 1:

Sore ini saya mengalami sebuah kejadian yang menurut saya mengherankan, sekaligus lucu, namun sekaligus membuat saya prihatin. Ceritanya, saya dan keluarga (ayah dan kedua adik) baru saja pulang dari bepergian dengan mobil ketika kami mendapati bibi asisten rumah tangga kami berdiri di depan garasi rumah. Saya merasa sedikit heran melihat beliau berdiri sedemikian rupa, karena tidak biasanya beliau demikian.

Ketika saya turun dari mobil segera ia menghampiri saya dengan wajah yang saya persepsikan sebagai ekspresi kebingungan, ia berkata seraya menunjukkan telapak tangannya kepada saya, “Non, ini tangan saya kenapa ya Non merah-merah begini?”. Saya tidak segera memperhatikan apa yang beliau maksud dengan ‘merah-merah’ namun saya melihat kedua telapak tangannya gemetaran. Saya memandang wajahnya dan ekspresi wajahnya tampak seperti orang bingung dan ketakutan. Lalu saya segera mengalihkan pandangan kembali ke telapak tangannya, “yang mana Bi?”. Beliau menunjukkan dengan lebih dekat telapak tangannya, “ini Non, ini tangan saya tiba-tiba merah-merah begini kenapa ya Non? Saya sakit apa ya?”.  Waduh.  Ada apaan nih? Pikir saya sambil memerhatikan tangan beliau.

Sejenak saya mengamati sambil saya genggam tangannya, namun saya tidak melihat ada tanda-tanda yang aneh selain di jari-jari kedua belah telapak tangannya terdapa noda-noda merah yang saya asumsikan sebagai bekas spidol snowman yang kecil. Saya asumsikan beliau telah memegang suatu benda, entah pakaian, entah apa yang membuat beliau kelunturan warna merah di telapak tangannya. Saya bertanya, “Bibi tadi habis pegang apa?”. Beliau tampak kebingungan, tangannya masih gemetaran di genggaman saya, “tadi saya habis megang jarum Non, apa ketusuk apa kenapa ya? Saya sakit apa ya Non?”. Lalu saya jadi ikut bingung dan berusaha menjelaskan pada beliau bahwa kemungkinan beliau kelunturan sesuatu, namun beliau tampaknya tidak percaya dengan ucapan saya karena beliau masih menengadahkan telapak tangannya dan menunjuk-nujuk tangannya. “Apa ini darah tinggi ya Non? Apa saya ke puskesmas aja sekarang Non?”

Walau saya mencoba menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang berbahaya dan beliau tidak sakit apa-apa, Bibi itu tetap bersikeras ada sesuatu yang salah. Menyerah, saya mencoba membujuk beliau untuk mencuci tangannya dengan sabun, saya bilang, “itu kalau hilang setelah dicuci pakai sabun berarti bukan apa-apa Bi, itu kelunturan”. Beliau setuju. Setelah menggosok-gosokkan tangannya dengan sangat kuat menggunakan sabun, akhirnya raut ketakutan di wajah beliau tampak berkurang perlahan-lahan. Saya menepuk pundak beliau pelan, “tuh kan bener Bi, itu kelunturan sesuatu, buktinya bisa hilang kan?”. Beliau tersenyum lega.

Belakangan saya baru tahu bahwa ternyata beliau kelunturan warna merah yang terdapat di benang yang sebelumnya beliau pegang karena hendak menjahitkan kancing baju adik saya yang lepas.  Melalui kejadian sederhana ini saya mendapatkan satu hal yang membuat saya penasaran. Bayangkan saja, si Bibi yang saya sebutkan dalam cerita saya tersebut bisa mengira beliau terkena suatu penyakit, beliau sangat khawatir bahwa dirinya terkena darah tinggi, atau suatu penyakit berbahaya lainnya. Setelah akhirnya diketahui bahwa tangannya hanya kelunturan, memang teka-teki warna merah itu terpecahkan. Namun, teka-teki yang lebih besar belum terpecahkan.

Sebetulnya sejauh mana sih pengetahuan kesehatan yang dimiliki oleh masyarakat kita secara umum?

Teman-teman yang sudah lebih tahu mengenai penyakit darah tinggi tentu tertawa dan menganggap kejadian ini luar biasa konyol. Saya sebetulnya juga ingin tertawa, namun rasa penasaran saya lebih besar lagi. Jika memang sebegitu sempitnya pengetahuan masyarakat kita (terutama masyarakat menengah ke bawah) mengenai kesehatan (termasuk juga menyangkut gejala-gejala dari beberapa penyakit tertentu), tentu hal ini patut ditindaklanjuti. Setelah mengalami hal ini, saya tidak heran jika mengetahui angka kematian di Indonesia akibat beberapa penyakit seperti diare, malaria, demam berdarah; maupun angka kematian ibu setelah melahirkan dan angka gizi bayi dan balita sangat lah rendah. Pendidikan mengenai kesehatan sangat penting untuk diketahui oleh semua pihak, karena pemenuhan kesehatan yang baik dapat menjadi modal agar kita dapat tumbuh menjadi individu yang optimal sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi kita dengan baik sehari-harinya, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat sosial (oke saya mulai terdengar seperti sedang berpidato, tapi saya rasa memang demikian, kesadaran akan kesehatan sangat penting adanya).

Setelah mengetahui hal ini, saya jadi betul-betul bertanya-tanya, seperti apa pendidikan kesehatan yang diajarkan oleh guru-guru ataupun lingkungan kita? Sejauh mana pendidikan tersebut berhasil dalam menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya hidup bersih dan sehat?

– D! –

#30harimenulis

Courtesy of Novelisa

Sebagai pembukaan tahun 2011, sebuah tantangan dilayangkan oleh teman saya, Fadil Pinandita. Bersama beberapa teman blogger baru, kami bertekad untuk mengisi bulan Januari ini (yang secara kebetulan juga merupakan masa liburan kegiatan akademis bagi saya) dengan menulis satu tulisan setiap harinya. Bentuk tulisan bisa apa saja, tergantung apa yang terlintas di benak kami masing-masing pada hari itu.

Awal yang produktif untuk memulai tahun, semoga bisa melatih komitmen dan keseriusan dalam berkarya.

Selamat Tahun Baru 2011 !

Semoga di tahun ini kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik lagi dalam segala aspek

May we have a happy year ahead.

Feel free to join this project, mari menulis :)

– D! –

Konser Musik dan Kemewahan Tersendiri

Hari Minggu tanggal 24 Oktober 2010 yang lalu saya dan adik saya baru saja menyaksikan konser musik sebuah Band yang berasal dari New York City, Vampire Weekend. Menonton konser, atau pergi ke sebuah gig, bagi saya adalah sebuah ‘kemewahan’ tersendiri. Patut saya informasikan sebelumnya bahwa saya bukanlah pelaku musik, dalam arti, saya tidak bisa memainkan alat musik apapun, demikian pula tampaknya terlalu beresiko bagi telinga anda untuk meminta saya menyanyikan suatu lagu tertentu. Saya juga tidak bisa dikatakan sebagai pemerhati musik ataupun orang yang mengerti tentang musik, saya datang ke konser betul-betul sebagai penikmat. Apa saja yang saya nikmati? Banyak.

by Aditya Mahendra

by Aditya Mahendra

Telah saya sebutkan sebelumnya bahwa menonton konser merupakan suatu ‘kemewahan’ tersendiri bagi saya. Selain tentu sebagai ajang pelepas kelelahan dari rutinitas sehari-hari, saat pergi ke konser musik saya pun berkesempatan memanjakan telinga saya dengan bebunyian yang saya suka, saya juga merasa bebas untuk berloncatan menggelinjang atau ikut menyanyikan lirik lagu yang dibawakan oleh sang musisi di panggung. Sorotan cahaya lampu panggung, penataan panggung, menebak-nebak daftar lagu yang akan dimainkan juga merupakan fitur-fitur yang sangat saya nikmati setiap kali saya datang ke suatu konser tertentu.

Namun, di luar semua itu, hal yang betul-betul menjadi kesenangan bagi saya setiap kali menyaksikan sebuah konser musik adalah kesempatan dan keleluasaan untuk melakukan observasi terhadap sesama penikmat konser musik itu sendiri. Bagi teman-teman yang sering datang ke konser musik mungkin menyadari bahwa suasana konser semacam menghadirkan suatu kebudayaan tersendiri yang diciptakan oleh orang-orang maupun komunitas yang datang ke sana, tergantung jenis musik apa yang sedang disajikan dalam konser tersebut. Namun yang jelas, banyak sekali hal yang menarik di mata saya setiap kali saya memperhatikan orang-orang yang datang ke sebuah konser musik, mulai dari pakaian yang mereka kenakan, keberagaman aksesoris, jenis kendaraan yang digunakan untuk sampai ke sana, gadget yang mereka gunakan sebagai pelengkap menikmati konser atau mengabadikan kesempatan  (misalnya kamera atau alat perekam), hingga stand-stand yang menjual aksesoris khas musisi yang tampil, atau menjual makanan dan minuman.

Diantara semua itu, favorit saya adalah memperhatikan interaksi yang terjadi antara pengunjung. Dalam konser, banyak sekali bentuk interaksi menarik yang tertangkap pupil mata saya, mulai dari keakraban para sahabat yang datang bersama, interaksi antar anggota groupies musisi yang sedang tampil yang biasanya sangat mencolok, orang tua yang ingin mengenang sepotong masa muda mereka yang enerjik, anak-anak baru menginjak usia remaja yang dengan penuh semangat menyanyikan lirik lagu yang dibawakan musisi yang sedang tampil, sekumpulan fotografer yang berusaha mencari celah terbaik mengambil gambar, dan sebagainya. Tidak ketinggalan tentu pasangan muda-mudi yang bertengkar kecil, sedang hangat-hangatnya menjalani hubungan mereka sehingga tampak dari sorot mata keduanya yang berbinar saat saling membicarakan penampilan sang musisi, teman lawan jenis yang sebetulnya menyimpan perasaan yang bertepuk sebelah tangan, para mantan yang dulu pernah berkasih dengan canggung dipertemukan kembali, suami istri yang mencoba kembali mengembalikan percik-percik dengan membuat diri mereka percaya mereka masih muda, musuh yang terlupakan, hingga bentuk hubungan yang tidak pernah tersahihkan.  Minuman dan asap rokok, peluh dan gelimang senyum, semuanya terekam dalam ingatan saya yang sibuk menikmati iringan musik yang berdentum-dentum sambil bercampur dengan pekikan lirik lagu dan tawa.

Semuanya saya tangkap dan saya nikmati lamat-lamat. Hal-hal semacam itu menjadi suatu hal yang berbeda dan tidak dapat saya temukan dalam bentuk interaksi sosial selain dalam konser. Emosi yang betul-betul keluar, mimik yang terbaca, semua gerak-gerik yang terekam, terasa sangat,

Mewah.

– D! –