Tagged: Dad

Sebagai Dua Orang Manusia Dewasa (?)

Sekarang hubungan aku dan Mama sudah seperti partner bagi satu sama lain. Kami banyak berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai apapun. Mama nggak pernah berpandangan bahwa anak itu harus mengabdi pada orangtua. Bagi beliau, anak nantinya akan memiliki hidupnya sendiri dan berdiri sebagai manusia yang mandiri.

Demikian penuturan salah seorang teman sekelas saya saat saya mewawancarainya mengenai hubungannya dengan orangtua. Pernyataan dari teman saya tersebut membuat saya tersentak dan bertanya-tanya ke dalam diri saya sendiri. Seperti apa hubungan yang berlandaskan partnership antara orangtua dan anak? Mungkinkan hubungan semacam itu terbentuk? Mungkinkah ada suatu titik di mana orangtua dan anak akan saling berinteraksi antara satu dengan lainnya selayaknya dua orang manusia dewasa?

Sebagai mahasiswi psikologi klinis, saya sudah terlalu akrab dengan kasus-kasus individu dengan masalah yang berakar kepada pola asuh orangtua, hingga lama-kelamaan hal itu menjadi sesuatu yang klise sekaligus menakutkan bagi saya yang nantinya suatu hari ingin juga menjadi orangtua.  Di dalam otak saya seperti sudah terbentuk skema bahwa orangtua patut memberikan pengasuhan yang terbaik bagi anaknya, tidak terlalu mengekang sehingga anak merasa tidak bebas  dan tidak mendapatkan kehangatan afeksi dari orangtua, namun sekaligus juga tidak terlalu permisif sehingga anak tumbuh menjadi seorang individu yang kehilangan model dan bingung bagaimana harus menempatkan diri dalam lingkungan sosial. Sedangkan anak, adalah seorang manusia ‘bentukan’ dengan potensinya masing-masing (yang juga terpengaruh oleh faktor genetis yang lagi-lagi ditentukan oleh orangtuanya), yang sewaktu kecil tidak mengerti sebagaimana ia harus bertingkah laku serta harus mencontoh dan menginternalisasi nilai-nilai maupun tingkah laku yang diajarkan orangtua kepada mereka.

Umumnya, orangtua lah yang menginginkan kehadiran anak, sehingga sudah sewajarnya mereka akan menyayangi dan menjaga anak-anak mereka. Sementara anak, sudah sewajarnya berbakti dan mengabdi kepada orangtua atas apa-apa yang telah diberikan oleh orangtua mereka. Orangtua akan selalu menjadi pihak yang memberi kehidupan, yang memberi makan, sang pelindung, dan sebagainya. Sedangkan anak adalah penerus keturunan, sang buah hati, sosok yang diharap-harapkan. Lucu ya, padahal kalau kita perhatikan toh peran ini nantinya akan saling terbalik satu sama lain. Orangtua dulunya kan juga anak, demikian pula anak (biasanya) akan menjadi orangtua suatu hari nanti.

Lalu saya bertanya-tanya, sudahkah saya mengenal orangtua saya sebagai manusia, di luar peran beliau sebagai orangtua, atau pengayom, atau pemberi kehidupan bagi saya?

Sudahkah saya mengenalkan diri ke ayah saya sebagai seorang manusia, di luar peran saya sebagai seorang anak, seorang yang senantiasa minta untuk dilindungi, atau dinafkahi, atau seorang penerus keturuan?

Sulit rasanya saya bayangkan akan ada masanya di mana saya akan duduk dan bicara dengan ayah saya secara terbuka, membicarakan semua urusan rumah tangga, serta semua urusan yang ada di antara kami. Seperti seorang manusia dengan manusia lainnya. Di usia saya yang ke-22 tahun dengan beliau beranjak 56 tahun pun, beliau tampaknya masih menganggap saya sebagai seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Benar adanya, bahwa kami sering mendiskusikan berbagai topik yang sedang ramai dibicarakan. Atau saling menceritakan mengenai bidang ilmu yang kami  geluti masing-masing. Namun sampai sekarang, masih banyak sekali hal-hal yang beliau tidak bicarakan dengan saya. Misalnya saja, soal rencana beliau setelah pensiun, soal keadaan finansial keluarga, soal perasaan-perasaan beliau, ataupun hal-hal yang mengganggu pikirannya.

Seringkali saya merasa iba mengingat beliau yang harus menanggung semua beban pikiran, dan mungkin perasaan, sendirian sejak ibu meninggal. Namun saat saya pikirkan kembali, saya sendiri tidak yakin apakah saya cukup mampu menjadi seorang teman berbagi bagi beliau di saat pergolakan emosi yang sepele saja belum bisa saya kuasai dengan baik.

Ada kalanya saya ingin mengenal sisi lain ayah saya. Tidak sekadar ayah yang selama ini senang melontarkan lelucon aneh yang seringkali tidak lucu. Atau ayah yang menjadi sumber pencari nafkah utama keluarga. Atau ayah yang senang mengganggu anak-anaknya ketika kami sedang tidur.

Ada kalanya saya ingin mengenal ayah yang senang membaca, dan juga senang menulis. Saya ingin mengenal ayah yang dahulu sering melanggar peraturan dan bandel. Atau sisi ayah yang gemar menyaksikan film action, dan menonton grup sepakbola kesayangannya. Atau mungkin sisi ayah yang dulu gemar minum berkerat-kerat kaleng bir sewaktu muda. Atau sisi ayah yang senang menganalisis situasi di pekerjaannya. Mungkin juga sisi ayah sebagai seorang teman dan sahabat.

Saya sadar, rasanya sulit sekali menanggalkan peran-peran kami sebagai orangtua dan anak untuk kemudian dapat berdiri secara sejajar dan bicara dengan terus terang. Mungkin juga tidak mudah bagi ayah saya menyaksikan transisi saya menjadi seorang perempuan muda yang sedang berjuang membangun kehidupannya sendiri. Sama sulitnya dengan saya yang harus mau melepaskan lengan ayah yang selama ini menjadi tempat saya bergantung, untuk kemudian berani berdiri di atas kaki sendiri dan berjalan menyusuri jalan yang saya pilih untuk lalui. Mungkin juga di tengah-tengah transisi tersebut akan ada konflik-konflik yang muncul, dan itu tidak apa-apa. Karena konflik berarti ada usaha untuk munculnya perubahan. Dan perubahan bisa jadi indikasi perkembangan.

Pelan-pelan.

Semoga kesempatan untuk bertransisi menjadi sesama manusia itu tetap ada. Dan semoga saya (dan beliau) cukup berani untuk memanfaatkannya. Dengan demikian saya bisa mengenal beliau seutuhnya, bukan sekadar beliau sebagai ayah saya. Demikian pula sebaliknya.

– D! –