Tagged: jakarta
Catatan Penumpang Kereta Pemula
Halo,
Kurang lebih dua bulan terakhir ini saya menjadi penumpang setia dari angkutan umum bernama kereta. Umumnya saya menumpang dengan KRL Commuter Line, dengan ongkos Rp.8000,00 (sebelum Oktober 2012 Rp. 6000,00) saya sudah berhasil melampaui jarak sekian kilometer dari stasiun Kebayoran (stasiun terdekat dari tempat saya tinggal) hingga ke stasiun Manggarai, untuk kemudian berjalan kaki ke arah terminal Manggarai untuk menumpang metromini S.62 yang lewat persis depan ruko kantor saya. Terkadang saya naik juga KRL Ekonomi, tergantung rangkaian kereta yang mana yang terlebih dulu lewat dan yang lebih lowong untuk saya tumpangi.
Bisa dibilang ini adalah kali pertama saya menjadi penumpang tetap dari KRL, sebelumnya sekali dua kali ada juga saya naik, namun jarang sekali dan memang hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Saya ini pada dasarnya penakut–juga pemalas, sebelum saya mulai bekerja saya berpendapat menumpang KRL adalah pengalaman yang sangat menyeramkan dan butuh usaha berlipat ganda bagi saya. Bagaimana tidak? Kita semua tahu bahwa fasilitas kendaraan umum di ibukota kita tercinta ini memang masih sangat kurang kualitasnya dan hampir-hampir tidak manusiawi menurut saya. Demikian juga dengan KRL. Bagi saya yang dulu tidak hapal jalur dan stasiun-stasiun pemberhentian kereta, menjadi suatu hal yang sangat menguji nyali saat menumpang di dalam kereta yang seringkali penuh sesak dan mengharuskan saya untuk saling menempel bersama orang-orang asing dengan bau tujuh rupa, dan secara khidmat harus menghitung jumlah stasiun yang sudah terlewati sambil berusaha keras melongok keluar jendela melihat nama stasiunnya agar tidak salah turun.
Selain itu, saya juga harus senantiasa mengawasi barang bawaan saya agar tidak terjangkau dari tangan-tangan usil yang mencoba mengambil, belum termasuk melindungi diri dari oknum-oknum tertentu pelaku pelecehan seksual yang seringkali justru pengidap kelainan seksual itu sendiri. Belum lagi saat menumpang kereta ekonomi saya harus siap untuk berhadapan dengan sisa permen karet yang menempel di bangku penumpang, orang-orang yang buang sampah dan meludah sembarangan, sampai ke ayam yang tiba-tiba berkokok atau pemandangan kecoak yang menyelip di antara bangku-bangku. Tentu seluruhnya menjadikan pengalaman yang sangat mencekam buat saya yang pemula. Walau harus saya akui orkes pengamen di dalam kereta ekonomi adalah satu dari sedikit hiburan yang luarbiasa.
Sebelum dua bulan ini, kalau bisa saya menghindari moda transportasi KRL dan memilih cara lain walau harus berganti-ganti mobil angkutan atau membayar lebih mahal untuk naik taksi. Selalu ada yang pertama untuk semua hal, begitu orang bilang, termasuk juga status saya sebagai penumpang tetap KRL ini yang ‘harus’ dimulai saat saya mulai bekerja. Berhubung setelah dilihat-lihat, ditilik-tilik, ditimbang-timbang dan diuji coba, ternyata jalur transportasi dengan menggunakan KRL ini jauh lebih masuk akal untuk ditempuh setiap harinya, pagi dan sore, dibandingkan dengan moda transportasi lain. Dengan demikian, mulailah petualangan baru saya bersama KRL di Jakarta Raya.
Ternyata manusia itu adalah makhluk yang sangat fleksibel, asalkan mau menaruh sedikit kemauan lebih untuk beradaptasi, termasuk juga saya. Dimulai dari perjalanan menembus pasar Kebayoran pukul 6 pagi dan bertemu dengan serombongan bebek, pengalaman naik KRL tidak lagi menjadi suatu momok menakutkan bagi saya saat sudah dijalani sehari-harinya. Saat saya sudah mulai hapal rute perjalanan dan tidak lagi harus waswas memperhatikan pintu keluar agar tidak terlambat turun di stasiun yang saya tuju, saat itulah saya mulai bisa menikmati pemandangan laku-laku manusia sesama penumpang yang menyenangkan sekaligus juga mengherankan. Percayalah, dari sudut pandang seorang yang belum berpengalaman macam saya ini, perjalanan dengan KRL adalah perjalanan naik-turunnya mood. Dari pelajaran paling berharga, hiburan paling menarik, hingga hal-hal yang paling bikin naik pitam termasuk ke dalamnya.
Dalam waktu yang cukup sebentar, ternyata saya sudah mulai bisa membaca pola perjalanannya setiap hari, termasuk juga pola penumpang yang ikut di dalamnya. Pada hari-hari yang baik saya akan berada di satu gerbong yang sama dengan wajah-wajah familiar. Jika saya berangkat dengan kereta dari Kebayoran pukul 06.22 di gerbong khusus wanita, saya akan bersama dengan ibu-ibu bertubuh gemuk berambut ikal yang dengan tenang setia membaca buku setiap hari, sambil berpegangan ke ke gantungan tangan di atas (yang saya belum tahu nama sebenarnya apa), seolah tidak peduli derajat ke-doyong-an kereta yang sering bikin saya khawatir otak saya bisa ikut-ikutan miring.
Jika berangkat dengan kereta pukul 06.41, maka saya akan bertemu dengan perempuan muda berambut pendek dengan mata tajam yang (menurut saya) sangat indah, juga dengan laki-laki jangkung berkacamata dengan bingkai yang sangat tebal, serta ibu-ibu paruh baya yang setiap harinya memakai roll rambut di poninya. Kemudian juga ada bapak-bapak paruh baya yang rambutnya sudah hilang setengah dimakan waktu dan pengalaman, membawa tas ransel besar berwarna hitam. Beliau tidak pernah absen untuk menyisihkan sedikit uangnya pada para pengemis yang ada di sepanjang jalan di sekitar stasiun. Dengan dua yang terakhir ini saya bahkan bisa naik satu metromini bersama selepas kami turun dari KRL di stasiun Manggarai. Bila saya naik kereta yang lebih siang sedikit lagi, maka saya akan bertemu dengan seorang perempuan muda dengan baju kantoran pada umumnya yang berjualan makanan kecil kepada teman-temannya untuk kemudian turun di stasiun Sudirman.
Pada hari-hari yang baik, saya akan terhibur cukup dengan memperhatikan penumpang lain saling berinteraksi. Bahkan kalau saya sedang beruntung, saya bisa sesekali mencuri dengar isi pembicaraan penumpang lain mengenai biaya sekolah anak yang kian tinggi, proses pengajuan KPR, betapa sibuknya pekerjaan mereka, atau keluh kesah mengenai kekasih dan suami yang cuek dan kasar. Terkadang saya juga berkesempatan untuk ‘tidak sengaja’ mengintip isi pesan yang mereka kirimkan di layar telepon genggam mereka masing-masing jika saya berada di belakang penumpang yang sibuk dengan gadget mereka. Membiarkan saya meneruskan pembicaraan mereka di dalam alam pikiran saya sendiri sambil melamun terkantuk-kantuk. Ingin juga rasanya suatu hari saya mencoba mengajak mereka berinteraksi.
Rasanya lucu, wajah-wajah familiar yang setiap hari kita temui tanpa pernah kita coba kenali. Sering saya membiarkan diri saya bertanya dan berandai-andai mengenai latar belakang mereka dan kemana tujuan mereka. Bagi saya itu semua hiburan yang memberikan saya keleluasaan untuk sejenak keluar dari kehidupan dan permasalahan saya sendiri bila saya sedang jenuh atau terlalu lelah. Saya juga beberapa kali bertemu dengan teman lama, baik teman SMP maupun teman SMA. Mengherankan rasanya, mereka yang sudah lama tidak kita sapa dan tahu kabarnya, untuk sesaat dan sekejap terlibat dalam pembicaraan yang terasa sangat akrab hanya karena kebetulan punya tujuan akhir yang sama–dalam hal ini tentu saja stasiun Manggarai. Kadang saja juga menambah ‘jaringan pertemanan’ saya dari perkenalan-perkenalan singkat antara saya dan teman dari teman lama saya tersebut. Se-semu apapun percakapan yang terjadi, rasanya senang juga ada teman berbincang selama perjalanan, kecuali kalau saya sedang terlalu ngantuk atau suntuk.
Ada juga hari-hari buruk yang apes dan naas selama 2 bulan ini saya menjadi penumpang KRL. Umumnya kesialan saya dengan KRL berlangsung dalam perjalanan pulang. Kepadatan penumpang KRL pada jam-jam pulang kantor tampaknya bisa membuat bocah semanja apapun tiba-tiba menjadi tangguh jika sudah bergelut di dalamnya. Sejauh ini saya sudah mempelajari beberapa hal dan strategi bila ingin selamat naik KRL di jam pulang kantor. Saya belajar cara menubrukkan diri dan mendorong ke arah orang lain tanpa ragu-ragu agar bisa dapat celah untuk masuk ke dalam gerbong, terutama gerbong khusus wanita yang selalu heboh. Saya juga belajar bahwa ibu-ibu adalah lawan yang paling menyebalkan bila menyangkut fasilitas umum karena selalu bertingkah seolah beberapa detik lagi kiamat datang sehingga mereka harus cepat-cepat pergi. Saya belajar bahwa tinggi badan yang sedikit lebih dari rata-rata perempuan Indonesia adalah aset yang menguntungkan, terutama dalam mendapatkan udara segar di dalam gerbong. Sayangnya strategi ini hanya bisa digunakan jika saya di dalam gerbong khusus wanita, karena begitu saya menumpang di gerbong campur, saya pasti menjelma menjadi sejenis lemper kekurangan oksigen karena terhimpit tubuh penumpang laki-laki yang semuanya lebih tinggi dari saya. Satu-satunya cara agar saya tidak perlu menjelma menjadi lemper brutal yang saling berebut untuk masuk gerbong adalah berjalan sejauh mungkin hingga mencapai gerbong terdepan, karena hampir tidak ada orang yang turun dari gerbong terdepan (terlalu jauh dari pintu keluar stasiun) dan persaingan penumpangnya untuk masuk ke gerbong relatif lebih ‘jinak’. Walaupun tentu saya tetap jadi lemper saat sudah berada di dalam, tapi setidaknya tidak brutal dan agresif.
Selain peliknya prosedur untuk masuk gerbong saat jam-jam pulang kantor yang keriuhannya hampir menyerupai arena gladiator haus darah, ada juga permasalahan lain yang kerap saya temui. Permasalahan tersebut terutama adalah terlalu seringnya gangguan yang dialami oleh perjalanan KRL Commuter Line maupun KRL Ekonomi sehingga sangat menghambat perjalanan sejuta umat ibukota. Gangguan ini bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari gangguan sinyal dari kabel listrik, gangguan rel yang retak atau patah, gangguan rangkaian kereta yang rusak, hingga kereta yang ‘loncat’ ke jalur sebelahnya; seperti yang baru-baru ini terjadi di Stasiun Cilebut. Gangguan seperti ini meskipun hanya dialami dalam waktu yang singkat atau hanya terjadi pada satu rangkaian kereta saja, mau tidak mau turut berpengaruh pada kelancaran perjalanan kereta lainnya. Kereta datang terlambat dan penumpang kemudian menumpuk sehingga semakin sulit untuk masuk ke gerbong. Selama dua bulan saya menjadi penumpang KRL, gangguan seperti ini terjadi sudah lebih dari 5 kali sehingga tidak heran warga Jakarta dan sekitarnya kesehatan mentalnya juga sering ikut kena gangguan.
Jika sedang ada gangguan, saya biasanya harus menunggu hingga 3 rangkaian kereta lewat baru saya bisa dapat rangkaian kereta yang kepadatannya agak manusiawi dan ikut untuk masuk ke dalam. Kadang semakin malam bukannya semakin sepi, namun justru semakin riuh. Suatu kali, karena adanya gangguan, kereta yang seharusnya sudah lewat 3 kali tidak kunjung datang. Stasiun pun berubah menjadi menyerupai Masjidil Haram di musim naik haji (lebay, saya belum pernah naik haji atau pergi umroh sekalipun, tapi emang rame banget). Akhirnya saya memilih ikut kereta ke arah Tanah Abang dan lanjut pulang naik taksi. Saya tiba di rumah pukul 21.30 malam padahal saya sudah keluar dari kantor saya di Tebet pukul 17.30.
Luar biasa!
Baru dua bulan, namun sudah sekian banyak hal yang harus saya serap dan pelajari. Beberapa orang mengeluhkan kenaikan harga yang signifikan tanpa adanya peningkatan pelayanan yang setara. Beberapa lagi terlalu frustrasi untuk sekedar mengeluh, mereka memilih untuk melakukan apa saja yang membuat mereka bisa memperoleh kenyamanan dalam berkendara dengan KRL itu sendiri, meskipun harus mengorbankan kenyamanan orang lain. Misalnya dengan ngotot berusaha menahan pintu KRL Commuter Line tetap terbuka agar bisa menampung diri mereka di dalam kereta yang sudah terlalu penuh, tidak peduli makan dan minum atau membuang sampah di dalam gerbong, berinisiatif untuk menyeberang rel begitu saja tanpa mengikuti jalur yang disediakan, bahkan menggunakan kursi kecil yang dibeli sendiri di abang-abang untuk duduk di dalam kereta meskipun tahu itu berarti membuat penumpang lain yang berdiri berdesakan merasa sangat terganggu.
Saya sendiri tidak tahu harus mulai dari mana jika pun saya ingin mengeluh. Sejauh ini saya masih berusaha mempelajari, memahami, dan tentu saja mengalami. Toh selain hal-hal yang mengganggu perjalanan tersebut masih banyak hal-hal yang saya sukai dari mengendarai KRL. Apalagi KRL memang yang tercepat dan sesungguhnya yang paling efisien di Jakarta ini bila dibandingkan dengan moda transportasi lain. Sejauh ini sebagai warga biasa peran yang bisa saya lakukan adalah mengikuti peraturan berkendaraan umum dengan tertib. Mulai dari hal-hal terkecil seperti mengantri tiket dengan benar, menunggu di peron dengan tertib, menyeberang jalur kereta di tempat yang sudah disediakan, dan tidak memaksa masuk gerbong bila memang sudah penuh sehingga pintu tetap bisa tertutup dan AC tidak rusak. Hal lainnya yang bisa saya lakukan sebatas menuliskan pendapat saya mengenai pengalaman saya berkendara dengan KRL.
Tetap saja ini adalah pengalaman yang menarik bagi saya. Paling tidak saya tahu bahwa kelelahan ini dirasakan bersama-sama oleh sekian ribu penduduk kota.
Saya tidak tahu mana yang lebih membuat lelah, perjalanan yang dipenuhi ketidaknyamanan atau harapan akan kenyamanan itu sendiri yang tidak kunjung terpenuhi?
– D! –
Jakarta : A Bad Romance
Serentetan ucapan dan doa banyak tertulis di timeline twitter seiring ulang tahun kota Jakarta yang ke-484 tanggal 22 Juni 2011 lalu. Beberapa di antara ucapan-ucapan selamat ulang tahun tersebut menyuarakan kalimat positif yang mengharapkan kemajuan ibukota kita ini, sementara beberapa yang lain tampak lebih banyak memaki-maki keadaan kota Jakarta yang dinilai tidak juga mengalami perubahan dan beberapa tampaknya terlalu putus asa untuk mengucap doa agar Jakarta dapat menjadi kota yang lebih baik atau paling tidak memperbaiki keadaannya sekarang. Namun, di antara yang mengucap doa positif maupun yang putus asa, yang paling banyak adalah mereka yang tampaknya justru bingung apa yang harus mereka rasakan mengenai kota Jakarta kita ini.
Banyak sekali orang yang mengemukakan bahwa mereka sebetulnya sayang sekali dengan kota yang telah menjadi tempat mereka tinggal selama bertahun-tahun. Namun di sisi lain, mereka juga mengemukakan rasa frustrasi mereka terhadap keadaan kota yang telah menjadi rumah mereka ini. Saya salah satu di antaranya. Sikap dan perasaan saya terhadap kota tempat saya lahir ini cenderung ambivalen antara sayang namun juga benci, bahasa gampangnya, labil. Saya mengalami apa yang saya sebut, jika boleh meminjam istilah yang digunakan oleh Lady Gaga, ‘Bad Romance’ dengan Jakarta. Jika melihat keadaan kota Jakarta, dengan segala hiruk pikuk-nya, dengan kekacauan lalu lintas dan sistem transportasinya, dengan kebobrokan urusan administrasi yang ada di kota ini, beserta polemik dan kekisruhan politik yang berputar di dalamnya, rasanya saya begitu tidak sabar untuk segera meninggalkannya. Sudah terlalu banyak kekecewaan dan tidak terhitung pula harapan yang harus saya kubur dalam-dalam, atau paling tidak, saya pendam di dalam hati tanpa berani memunculkannya ke permukaan, terhadap kota ini. Meninggalkannya adalah satu-satunya cara yang menurut saya paling baik demi kesehatan psikologis saya.
Namun di sisi lain, saya sendiri betul-betul tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya jika saya akhirnya benar-benar harus hidup di luar kota ini atau merantau dan meninggalkannya dalam waktu lama. Rasanya seluruh hal yang ada di bagian kota ini adalah juga bagian dari diri saya yang tidak bisa saya lepaskan begitu saja. Segalanya, mulai dari udaranya yang kotor akibat polusi asap kendaraan, kemacetan yang membuat stres, gedung-gedung pencakar langit yang pongah, bangunan-bangunan tua yang memohon untuk diperhatikan, bijaknya pendar lampu lalu lintas, para penjaja makanan yang mengejar sejumput kebahagiaan, mereka yang bersembunyi di balik kerah-kerah berdasi dan sepatu ber-hak tinggi, toko buku-toko buku impor dan dentuman musik, mahasiswa yang lantang membela nasib kaum yang bahkan tidak begitu mereka kenal, teriakan para kenek bus kota yang berlomba dengan suara tawa dan seruan mereka yang bersenang-senang di bawah gelimang lampu klub, aroma minuman keras yang bercampur dengan peluh, dan semua yang ada di sini, telah menjadi nafas dalam kehidupan saya sehari-hari.
Segalanya terasa sangat sulit tergantikan, walau saya tahu bahwa sangat mungkin saya akan menemukan yang lebih baik atau lebih cocok bagi saya di tempat lain. Namun Jakarta begitu sulit untuk ditinggalkan. Jakarta yang adiktif membuat saya terus-terusan mengalami siklus mulai dari terlena dan terpesona hingga saya berani berharap lebih, untuk kemudian merasa kecewa, memaki-maki dan sakit hati.
Lalu saya bertanya-tanya di dalam hati, mengapa menyayangi kota ini harus begitu rumit? Mengapa saya tidak dapat dengan mudah merasa berbunga-bunga dan menikmati saja apa yang ada? Apakah saya yang kurang bersyukur? Atau Jakarta memang bagai seorang kekasih yang sulit untuk dipahami?
Lalu saya kemudian teringat kata-kata Ramda yang bilang bahwa tidak semua hubungan sifatnya konstruktif dan sehat bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memang mengherankan rasanya apabila kita berulang kali mengucapkan betapa kita mencintai dan menyayangi kota tempat tinggal kita ini, namun kita juga mengambil jalur Transjakarta, menerobos lampu merah saat jalanan sedang sepi dan tidak ada polisi, membayar calo saat ingin mengurus perpanjangan paspor, atau sekadar membuang sampah di sembarang tempat tanpa peduli sampah yang kita buang dapat kemudian berkontribusi terhadap terjadinya banjir.
Lalu saya kembali berpikir dan terdiam, selama ini kita, atau paling tidak, saya, bagaikan tidak menghiraukan hal-hal tersebut karena kita menganggap laku-laku tersebut merupakan sesuatu yang sudah terlalu wajar karena semua orang sudah melakukannya. Rasanya justru aneh bila kita tidak melakukannya dan memilih untuk menaati peraturan yang kita anggap menyulitkan diri kita. Tanpa kita peduli bagaimana dampaknya terhadap kota yang (katanya) kita cintai ini.
Lalu saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana mungkin saya menyayangi sesuatu sambil sekaligus juga merusaknya? Bagaimana saya bisa kemudian semena-mena menuntut kesejahteraan saya sendiri selama tinggal di kota ini tanpa saya berusaha memahami dan mengenal seperti apa sebenarnya kota yang telah memberi begitu banyak pelajaran kehidupan ini? Bagaimana mungkin saya bisa menyayangi sesuatu dengan cara selalu meminta tanpa berusaha untuk memberi, atau setidak-tidaknya, mengerti?
Jika di antara teman-teman yang lain ternyata juga merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan tentang kota ini, yah, mungkin kita harus mengakui bahwa kita harus belajar lagi soal bagaimana cara mencintai, dengan lebih baik. Jika kita memang seringkali berujar bahwa kita begitu menyayangi ibukota ini, tidak ada salahnya toh sedikit lebih peduli, dan mau berkompromi?
– D! –
Ibu Kota
Jakarta sang Ibu Kota
Jakarta, yang hiruk pikuk dan sibuk, membuat kami kikuk
Jakarta tak bisa ramah pada mereka yang tak berpunya
Jakarta bisa jumawa bagi mereka yang ber-kapita
Semua eksklusif membuat kami jadi kompetitif
atau justru kami jadi submisif?
Jakarta tempat semua orang bisa berpesta
Tempat semua orang bisa mendera
Namun, Jakarta pun bisa tersungkur
Pada mereka yang pintar bersyukur
– D ! –
Naik Transjakarta? Siapa Takut!
Halo, beberapa minggu lalu saya sempet baca berita di Antaranews.com mengenai tingkat polusi udara Jakarta yang semakin meningkat dan termasuk yang tertinggi kalau dibandingkan dengan kota-kota besar di negara-negara Asia lainnya (saya nggak bisa cantumin link, soalnya nggak disave beritanya, agak bodoh memang). 80% penyumbang polusi udara itu adalah asap kendaraan sedangkan 20% sisanya berasal dari hasil industri, sampah rumah tangga, dan sebagainya. Yah kalau dilihat-lihat sih ya wajar aja berhubung pengguna kendaraan pribadi di Jakarta ini kan luarbiasa banyaknya. Berdasarkan keprihatinan saya mengenai hal ini, maka saya bertekad akan meningkatkan frekuensi penggunaan kendaraan umum dibandingkan kendaraan pribadi (nebeng tuh kendaraan pribadi juga bukan ya? hehe). Yah bukannya saya nggak pernah naik kendaraan umum samasekali sih, cuma seringnya naik kendaraan pribadi, berhubung bapak saya itu orangnya parnoan sampe saya suka kesel sendiri.
Contoh bentuk kendaraan yang sering saya gunakan adalah bus cantik berwarna ungu bernama Deborah, angkot-angkot manis, dan bus TransJakarta yang elegan. Kali ini saya tidak akan membahas mengenai Deborah cantik dan angkot-angkot manis manja tersebut, namun saat ini saya akan membahas tentang bus TransJakarta karena dibandingkan kedua jenis angkutan lain yang saya sebut di atas bus inilah yang paling sering saya tumpangi.
TransJakarta, memulai operasinya pada 15 Januari 2004, (saat itu DKI Jakarta berada di bawah pemerintahan Gubernur Sutiyoso) dengan tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, namun terjangkau bagi warga Jakarta. Untuk mencapai hal tersebut, bus TransJakarta diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus umum selain Transjakarta). Agar terjangkau oleh masyarakat, maka harga tiket disubsidi oleh pemerintah daerah (keterangan ini didapatkan dari “Wikipedia” )
Berdasarkan keterangan di atas, ada dua hal yang patut diperhatikan disini,
pertama, tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, namun terjangkau bagi warga Jakarta,
dan
kedua, bus TransJakarta diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus umum selain Transjakarta)
Pada kenyataannya, ternyata kedua hal ini belum dapat diwujudkan dengan baik dengan adanya bus TransJakarta. Saya mengakui bahwa dengan adanya TransJakarta, saya mendapatkan kemudahan dalam mengakses lokasi-lokasi tertentu yang letaknya sangat jauh dari rumah saya. Saya juga dapat merasakan kenyamanan yang lebih jika dibandingkan dengan kalau saya harus menumpang bis lain, metromini, atau angkot. Namun, kenyamanan ini berkurang karena beberapa hal yang patut disayangkan, salah satunya yang paling membuat saya jengkel, adalah pelanggaran atas peraturan sterilisasi jalur busway. Sudah disebutkan bahwa bus TransJakarta diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya, dan lajur tersebut TIDAK BOLEH dilewati oleh kendaraan lain. Namun hal ini tampaknya seringkali diabaikan oleh para pengguna jalan, terutama mobil pribadi. Memang sih, ada beberapa jalur yang tetap diperbolehkan untuk dilewati oleh keadaan lain, namun bukan jalur yang telah disterilisasi dan telah diberi pembatas jalan khusus bus TransJakarta.
Ketika pengendara mobil pribadi berbondong-bondong lewat jalur busway, akhirnya bus TransJakarta-nya sendiri jadi tersendat jalannya, ikut-ikutan kena macet. Padahal misi utama dan mumpuni dari adanya program bus TransJakarta ini sendiri kan untuk mengurangi kemacetan ibukota. Diharapkan, dengan kehadiran bus ini warga Jakarta akan mengurangi pemakaian mobil pribadi dan beralih ke TransJakarta. Oleh karena itu pula TransJakarta sekarang sudah memiliki rute yang aksesnya luar biasa, 10 koridor bung! Belum lagi ditambah beberapa koridor khusus yang hanya beroperasi di waktu-waktu tertentu (misalnya saat akhir minggu), tapi kalo gini caranya, sama aja bohong, karena toh para pengguna mobil pribadi itu tetap tidak berpaling ke TransJakarta dan justru mengeluh bahwa jalanan semakin sempit dengan adanya jalur busway dan berdalih ini akan membuat macet. Lalu, apakah keluhan ini yang membuat mereka merasa berhak untuk lewat jalur busway yang sudah disterilisasi? Halooooo?? Sadar dong orang-orang, pemerintah sendiri sudah berusaha untuk memberikan sarananya, tinggal kesadaran masyarakatnya yang perlu ditingkatkan. Bayar ongkos TransJakarta lebih murah lho daripada bayar bensin.
Berkurangnya kenyamanan dalam menumpang TransJakarta adalah kurangnya armada bus TransJakarta itu sendiri atau biasa disebut juga bus pengumpan (feeder). Hal ini menyebabkan pada jam-jam sibuk, jumlah armada yang tersedia belum sebanding dengan jumlah penumpang menyebabkan antrian panjang di halte-halte (terutama untuk koridor 2 dan 3). Selain antrian yang sangat panjang dan waktu menunggu bus yang sangat lama, begitu berhasil mendapatkan bus para penumpang akan langsung berdesakan dan saling berhimpitan, sehingga tidak ada bedanya dengan menumpang bus Patas AC maupun Deborah ungu yang cantik. Dengan keadaan dimana penumpang penuh sesak seperti ini, yang terjadi adalah pengumuman yang diberikan mengenai halte berikutnya tidak dapat didengar dengan baik, kemudian informasi visual (tulisan) tentang halte berikutnya yang akan dituju -biasa terletak dekat dengan kursi supir dengan tulisan merah yang berjalan- jadi tidak terlihat. Hal ini sangat menyulitkan bagi pengguna TransJakarta, terutama untuk penumpang yang baru sekali naik TransJakarta untuk rute tertentu, dimana tentunya ia belum hapal halte-halte mana saya yang akan disinggahi.
Sebagai catatan penting, hal yang lebih mengganggu lagi adalah kriminalitas juga kerap terjadi pada jam-jam sibuk disaat bus penuh terisi sesak. Kriminalitas memang ada dimana-mana, namun seharusnya hal ini dapat diminimalisir seandainya kondisi bus TransJakarta yang ditumpangi lebih nyaman dan penumpang yang ikut dalam bus tidak melebihi kapasitas.
Hal ini dapat menjadi teguran untuk pemerintah, dengan begini dapat dilihat bahwa mungkin pengguna TransJakarta jumlahnya cukup besar (yang mana tentunya hal ini menjadi berita baik bagi pemerintah mengingat tujuan program ini). Untuk itu pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan jumlah armada bus TransJakarta itu sendiri. Yah, saya memang cuma warga, dan ngomong memang lebih gampang daripada melakukan, dan saya juga tahu pemerintah daerah pasti punya segudang urusan lain selain TransJakarta. Saya juga maklum bahwa bus-bus Mercedes -Benz dan Hino yang digunakan sebagai Transjakarta dibangun dengan menggunakan bahan-bahan pilihan.
“Untuk interior langit-langit bus, menggunakan bahan yang tahan api sehingga jika terjadi percikan api tidak akan menjalar. Untuk kerangkanya, menggunakan Galvanil, suatu jenis logam campuran seng dan besi yang kokoh dan tahan karat.
Desain bus Transjakarta juga berbeda dengan bus lain, bus ini memiliki pintu yang terletak lebih tinggi dibanding bus lain sehingga hanya dapat dinaiki dari halte khusus busway (juga dikenal dengan sebutan shelter). Pintu tersebut terletak di bagian tengah kanan dan kiri. Pintu bus menggunakan sistem lipat otomatis yang dapat dikendalikan dari konsol yang ada di panel pengemudi. Untuk bus koridor 2 dan 3, mekanisme pembukaan pintu telah diubah menjadi sistem geser untuk lebih mengakomodasi padatnya penumpang pada jam-jam tertentu, di dekat kursi-kursi penumpang yang bagian belakangnya merupakan jalur pergeseran pintu, dipasang pengaman yang terbuat dari gelas akrilik untuk menghindari terbenturnya bagian tubuh penumpang oleh pintu yang bergeser.” (Wikipedia)
Keren bukan? Wajar kalau pembuatan bus TransJakarta membutuhkan biaya yang besar dan tidak segampang itu menambah jumlah armada, belum lagi menggaji supirnya. Hanya saja, kalau mau dipikir lagi, jika saja keamanan dan kenyamanan bus Transjakarta ditingkatkan, pastinya penumpang juga semakin berminat untuk menumpang, sehingga ujungnya diharapkan akan memiliki dampak pengurangan jumlah pengguna kendaraan pribadi di jalanan ibukota. Untuk itu baik sekali kalau kerjasama pemerintah dan masyarakat semakin ditingkatkan, toh ini buat Jakarta kita juga kan?
Buat kita pribadi, apa yang dapat dilakukan?
salah satu yang paling mudah tentu saja mencoba TransJakarta dan mengurangi penggunaan mobil pribadi. Kalau itupun masih terlalu sulit untuk dilakukan karena belum terbiasa, atau karena rute yang kita lewati ternyata belum terjamah oleh TransJakarta, hal penting lain yang harus dilakukan saat berkendara dengan mobil pribadi adalah jangan menerobos dan seenaknya malang melintang di jalur busway, tolong jangan. Saya tahu jalanan macet, dan seringkali lewat jalur busway ternyata mempercepat laju kendaraan kita karena relatif lebih lancar, tapi itu egois namanya. Kalau semua orang berpikiran seperti itu, ujungnya jalur busway juga akan jadi ramai dan macet, akhirnya kehilangan fungsi yang sebenarnya.
Setidaknya saya sudah mencobanya, bagaimana dengan kalian?
– D! –