Tagged: keberanian

Kecewa, tapi bangga

Postingan yang sebelumnya sebetulnya merupakan bagian dari obrolan antara saya dan teman saya mengenai apa arti keberanian, obrolan itu berasal dari pengalaman saya sebelumnya. Berikut ceritanya :

Sabtu, 30 Mei 2009 adalah hari yang bersejarah buat saya. Sejak jam setengah 8 pagi saya sudah berdiri di Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Gedung Mandala, Kuningan, dengan memakai blazer dan rok sepan selutut berwarna hitam serta kemeja berwarna kuning gading (atau putih butek), ditambah lagi dengan sepatu berhak 7cm, dan wajah yang dipoles make up tipis. Sambil menengok ke kiri dan ke kanan saya mengantri sambil menunggu giliran untuk diberi nomor urut dan dicatat tinggi serta berat badannya. Demikianlah, hari itu saya menjadi salah seorang peserta audisi sebuah ajang yang berkaitan dengan pariwisata dan budaya (bagi yang memiliki dugaan, silahkan menduga-duga) hehe.

Hari itu saya diliputi perasaan deg-degan luarbiasa sekaligus juga sangat antusias terhadap apa yang akan saya alami. Padahal, pada awalnya saya ikut hanya untuk iseng aja berhubung nggak pernah tau prosedur atau apa yang dibutuhin untuk ikutan ajang seperti ini. Keikutsertaan saya kali ini pun sebenernya hasil dari ajakan temen saya yang sangat semangat, persiapan pun hampir semuanya dibantu dan diurus oleh temen saya itu. Mulai dari urusan foto sampai bahan pengetahuan yang butuh untuk diketahui untuk ikutan ajang itu. Pada hari H-nya saya nggak tau kenapa saya disergap rasa antusias begitu melihat banyak sekali orang-orang baru. Selain iming-iming jalan-jalan gratis saya justru lebih tertarik kepada hal baru apa aja yang bisa saya dapetin dan saya pelajari lewat keikutsertaan saya (kalau lolos jadi finalis tentu saja).

Rasa antusias dengan cepat bercampur menjadi rasa deg-degan, terutama ketika memasuki ruangan audisi untuk menerima pertanyaan. Saya merasa cukup yakin bahwa pengetahuan saya sudah cukup baik dan saya siap menerima pertanyaan yang berupa pendapat berkaitan dengan kota Jakarta. Pertama-tama naik dulu ke podium dan kasi salam ke juri. Setelah memperkenalkan diri, saya mengambil satu gulungan kertas di fishbowl. Pertanyaan nomor 5

“Apa makna persahabatan bagi Anda ?” *DOEEENNGG!* saya agak kaget mendengar pertanyaannya, tarik napas dikit, yak dijawab aja

Terima kasih atas pertanyaannya, bagi saya persahabatan sangatlah penting. Dengan sahabat, saya bisa saling jujur untuk saling membangun dan melengkapi dimana jika sahabat saya melakukan kesalahan atau kekurangan saya bisa mengingatkannya untuk memperbaikinya, dan demikian juga sebaliknya. Terimakasih (senyum)

Ya demikian cuplikan pengalaman saya pada hari itu, pada akhirnya toh saya gagal dan tidak lolos bahkan ke semifinal sekalipun. Kecewa? Pasti. Saya sendiri cukup kaget mendapati diri saya kecewa seperti itu karena pada awalnya toh saya ikutan ajang ini cuma untuk iseng dan rasa ingin tahu akan ajakan teman. Namun, dari 6 orang yang saya temui disana 2 diantaranya berhasil lolos ke semifinal dan hal itu cukup mengusik harga diri saya. Mulai deh saya mencari cari dimana letak kesalahan saya. Mau berapa kali dipikir pun saya nggak nemu juga, dan itu sedikit menghibur saya karena saya merasa sudah melakukan yang terbaik. Setelah menelepon seorang teman dan akhirnya bisa terhibur saya akhirnya bisa ketawa-ketawa tolol lagi.

Beberapa hari kemudian, teman saya yang menjadi panitia ajang tersebut memberi tau saya mengapa saya tidak lolos, katanya masalah ada pada postur tubuh saya yang sedikit bungkuk dan gestur yang kurang yakin. Baiklah, itu masuk akal. Setidaknya masalahnya bukan pada jawaban saya. Yah apapun permasalahannya, di sini saya memperoleh beberapa pelajaran yang penting.

Pertama, tentu aja menyangkut postur dan gestur itu tadi, saya jadi sadar bahwa postur bisa sangat mempengaruhi persepsi orang lain terhadap saya.

Kedua, dan yang lebih penting lagi, adalah kenyataan bahwa dengan keikutsertaan saya di ajang ini membawa saya keluar dari pintu kungkungan yang selama ini saya buat sendiri. Selama ini saya selalu merasa diri saya tidak cukup mampu untuk melakukan apapun yang sebetulnya ingin saya coba, tepatnya ini kerasa banget waktu saya SMA dimana saya membatasi diri untuk tidak ikut ekskul yang saya minati, tidak berani mendaftarkan diri untuk pertukaran pelajar, tidak terus ikut serta kegiatan LDK untuk penyaringan BPH PK OSIS, dan masih banyak lagi. Hal ini terus berlangsung sampai di bangku perkuliahan. Sebetulnya waktu ditawarin ikutang ajang ini juga saya merasa buat apa? Toh saya tidak cantik, tidak pintar, dan tidak memiliki kemampuan bicara di depan umum, tidak, kurang, tidak, kurang, dan tidak. Akhirnya sih nekat aja, walaupun gagal juga.

Ketiga, saya belajar bahwa sebuah kegagalan memberikan banyak sekali pelajaran dan gatau kenapa justru memberikan keberanian baru buat saya. Dengan hal ini saya merasa bahwa sebetulnya saya tidak memiliki alasan samasekali untuk membatasi diri saya selama saya serius dalam menjalankannya. Gatau kenapa saya seperti tersadarkan bahwa sebetulnya banyak kesempatan yang datang pada diri saya dalam hal apapun, tapi saya yang terlalu malas atau terlalu takut untuk mencoba. Berdasarkan pengalaman ini saya berpikir saya sebetulnya punya kemampuan, cuma kurang keberanian. Dengan kegagalan juga saya jadi tahu di bagian mana saya salahnya, sehingga bisa saya perbaiki di lain kesempatan (dimana tentu kesempatan itu masih banyak banget di luar sana).

Dunia tidak selebar daun kelor dan hidup cuma sekali. Sayang banget kalau saya cuma duduk duduk diam dan mengeluh aja disini tanpa mencoba membuka diri (dan menawarkan diri) pada dunia. Pengalaman-pengalaman seperti ini mengajarkan saya untuk lebih menghargai setiap kesempatan yang datang pada saya dan lebih menyayangi diri saya, dengan demikian saya harap juga saya dapat lebih mencintai hidup. Karena mau gimana juga, sebenernya cuma diri kita sendiri yang kita punya kan, dan hidup kita ada di tangan kita.

Gitu deh, walaupun saya gagal dan kecewa dalam pengalaman ini, tapi ada sedikit rasa bangga yang terselip karena saya sudah berani mencoba sesuatu yang baru dan berani untuk percaya pada diri saya bahwa saya mampu melakukannya. Saya berharap, dengan ini saya lebih berani menyambut apapun yang ditawarkan hidup kepada saya. God is always around, anyway :)

– D! –