Tagged: KRL
Catatan Penumpang Kereta Pemula
Halo,
Kurang lebih dua bulan terakhir ini saya menjadi penumpang setia dari angkutan umum bernama kereta. Umumnya saya menumpang dengan KRL Commuter Line, dengan ongkos Rp.8000,00 (sebelum Oktober 2012 Rp. 6000,00) saya sudah berhasil melampaui jarak sekian kilometer dari stasiun Kebayoran (stasiun terdekat dari tempat saya tinggal) hingga ke stasiun Manggarai, untuk kemudian berjalan kaki ke arah terminal Manggarai untuk menumpang metromini S.62 yang lewat persis depan ruko kantor saya. Terkadang saya naik juga KRL Ekonomi, tergantung rangkaian kereta yang mana yang terlebih dulu lewat dan yang lebih lowong untuk saya tumpangi.
Bisa dibilang ini adalah kali pertama saya menjadi penumpang tetap dari KRL, sebelumnya sekali dua kali ada juga saya naik, namun jarang sekali dan memang hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Saya ini pada dasarnya penakut–juga pemalas, sebelum saya mulai bekerja saya berpendapat menumpang KRL adalah pengalaman yang sangat menyeramkan dan butuh usaha berlipat ganda bagi saya. Bagaimana tidak? Kita semua tahu bahwa fasilitas kendaraan umum di ibukota kita tercinta ini memang masih sangat kurang kualitasnya dan hampir-hampir tidak manusiawi menurut saya. Demikian juga dengan KRL. Bagi saya yang dulu tidak hapal jalur dan stasiun-stasiun pemberhentian kereta, menjadi suatu hal yang sangat menguji nyali saat menumpang di dalam kereta yang seringkali penuh sesak dan mengharuskan saya untuk saling menempel bersama orang-orang asing dengan bau tujuh rupa, dan secara khidmat harus menghitung jumlah stasiun yang sudah terlewati sambil berusaha keras melongok keluar jendela melihat nama stasiunnya agar tidak salah turun.
Selain itu, saya juga harus senantiasa mengawasi barang bawaan saya agar tidak terjangkau dari tangan-tangan usil yang mencoba mengambil, belum termasuk melindungi diri dari oknum-oknum tertentu pelaku pelecehan seksual yang seringkali justru pengidap kelainan seksual itu sendiri. Belum lagi saat menumpang kereta ekonomi saya harus siap untuk berhadapan dengan sisa permen karet yang menempel di bangku penumpang, orang-orang yang buang sampah dan meludah sembarangan, sampai ke ayam yang tiba-tiba berkokok atau pemandangan kecoak yang menyelip di antara bangku-bangku. Tentu seluruhnya menjadikan pengalaman yang sangat mencekam buat saya yang pemula. Walau harus saya akui orkes pengamen di dalam kereta ekonomi adalah satu dari sedikit hiburan yang luarbiasa.
Sebelum dua bulan ini, kalau bisa saya menghindari moda transportasi KRL dan memilih cara lain walau harus berganti-ganti mobil angkutan atau membayar lebih mahal untuk naik taksi. Selalu ada yang pertama untuk semua hal, begitu orang bilang, termasuk juga status saya sebagai penumpang tetap KRL ini yang ‘harus’ dimulai saat saya mulai bekerja. Berhubung setelah dilihat-lihat, ditilik-tilik, ditimbang-timbang dan diuji coba, ternyata jalur transportasi dengan menggunakan KRL ini jauh lebih masuk akal untuk ditempuh setiap harinya, pagi dan sore, dibandingkan dengan moda transportasi lain. Dengan demikian, mulailah petualangan baru saya bersama KRL di Jakarta Raya.
Ternyata manusia itu adalah makhluk yang sangat fleksibel, asalkan mau menaruh sedikit kemauan lebih untuk beradaptasi, termasuk juga saya. Dimulai dari perjalanan menembus pasar Kebayoran pukul 6 pagi dan bertemu dengan serombongan bebek, pengalaman naik KRL tidak lagi menjadi suatu momok menakutkan bagi saya saat sudah dijalani sehari-harinya. Saat saya sudah mulai hapal rute perjalanan dan tidak lagi harus waswas memperhatikan pintu keluar agar tidak terlambat turun di stasiun yang saya tuju, saat itulah saya mulai bisa menikmati pemandangan laku-laku manusia sesama penumpang yang menyenangkan sekaligus juga mengherankan. Percayalah, dari sudut pandang seorang yang belum berpengalaman macam saya ini, perjalanan dengan KRL adalah perjalanan naik-turunnya mood. Dari pelajaran paling berharga, hiburan paling menarik, hingga hal-hal yang paling bikin naik pitam termasuk ke dalamnya.
Dalam waktu yang cukup sebentar, ternyata saya sudah mulai bisa membaca pola perjalanannya setiap hari, termasuk juga pola penumpang yang ikut di dalamnya. Pada hari-hari yang baik saya akan berada di satu gerbong yang sama dengan wajah-wajah familiar. Jika saya berangkat dengan kereta dari Kebayoran pukul 06.22 di gerbong khusus wanita, saya akan bersama dengan ibu-ibu bertubuh gemuk berambut ikal yang dengan tenang setia membaca buku setiap hari, sambil berpegangan ke ke gantungan tangan di atas (yang saya belum tahu nama sebenarnya apa), seolah tidak peduli derajat ke-doyong-an kereta yang sering bikin saya khawatir otak saya bisa ikut-ikutan miring.
Jika berangkat dengan kereta pukul 06.41, maka saya akan bertemu dengan perempuan muda berambut pendek dengan mata tajam yang (menurut saya) sangat indah, juga dengan laki-laki jangkung berkacamata dengan bingkai yang sangat tebal, serta ibu-ibu paruh baya yang setiap harinya memakai roll rambut di poninya. Kemudian juga ada bapak-bapak paruh baya yang rambutnya sudah hilang setengah dimakan waktu dan pengalaman, membawa tas ransel besar berwarna hitam. Beliau tidak pernah absen untuk menyisihkan sedikit uangnya pada para pengemis yang ada di sepanjang jalan di sekitar stasiun. Dengan dua yang terakhir ini saya bahkan bisa naik satu metromini bersama selepas kami turun dari KRL di stasiun Manggarai. Bila saya naik kereta yang lebih siang sedikit lagi, maka saya akan bertemu dengan seorang perempuan muda dengan baju kantoran pada umumnya yang berjualan makanan kecil kepada teman-temannya untuk kemudian turun di stasiun Sudirman.
Pada hari-hari yang baik, saya akan terhibur cukup dengan memperhatikan penumpang lain saling berinteraksi. Bahkan kalau saya sedang beruntung, saya bisa sesekali mencuri dengar isi pembicaraan penumpang lain mengenai biaya sekolah anak yang kian tinggi, proses pengajuan KPR, betapa sibuknya pekerjaan mereka, atau keluh kesah mengenai kekasih dan suami yang cuek dan kasar. Terkadang saya juga berkesempatan untuk ‘tidak sengaja’ mengintip isi pesan yang mereka kirimkan di layar telepon genggam mereka masing-masing jika saya berada di belakang penumpang yang sibuk dengan gadget mereka. Membiarkan saya meneruskan pembicaraan mereka di dalam alam pikiran saya sendiri sambil melamun terkantuk-kantuk. Ingin juga rasanya suatu hari saya mencoba mengajak mereka berinteraksi.
Rasanya lucu, wajah-wajah familiar yang setiap hari kita temui tanpa pernah kita coba kenali. Sering saya membiarkan diri saya bertanya dan berandai-andai mengenai latar belakang mereka dan kemana tujuan mereka. Bagi saya itu semua hiburan yang memberikan saya keleluasaan untuk sejenak keluar dari kehidupan dan permasalahan saya sendiri bila saya sedang jenuh atau terlalu lelah. Saya juga beberapa kali bertemu dengan teman lama, baik teman SMP maupun teman SMA. Mengherankan rasanya, mereka yang sudah lama tidak kita sapa dan tahu kabarnya, untuk sesaat dan sekejap terlibat dalam pembicaraan yang terasa sangat akrab hanya karena kebetulan punya tujuan akhir yang sama–dalam hal ini tentu saja stasiun Manggarai. Kadang saja juga menambah ‘jaringan pertemanan’ saya dari perkenalan-perkenalan singkat antara saya dan teman dari teman lama saya tersebut. Se-semu apapun percakapan yang terjadi, rasanya senang juga ada teman berbincang selama perjalanan, kecuali kalau saya sedang terlalu ngantuk atau suntuk.
Ada juga hari-hari buruk yang apes dan naas selama 2 bulan ini saya menjadi penumpang KRL. Umumnya kesialan saya dengan KRL berlangsung dalam perjalanan pulang. Kepadatan penumpang KRL pada jam-jam pulang kantor tampaknya bisa membuat bocah semanja apapun tiba-tiba menjadi tangguh jika sudah bergelut di dalamnya. Sejauh ini saya sudah mempelajari beberapa hal dan strategi bila ingin selamat naik KRL di jam pulang kantor. Saya belajar cara menubrukkan diri dan mendorong ke arah orang lain tanpa ragu-ragu agar bisa dapat celah untuk masuk ke dalam gerbong, terutama gerbong khusus wanita yang selalu heboh. Saya juga belajar bahwa ibu-ibu adalah lawan yang paling menyebalkan bila menyangkut fasilitas umum karena selalu bertingkah seolah beberapa detik lagi kiamat datang sehingga mereka harus cepat-cepat pergi. Saya belajar bahwa tinggi badan yang sedikit lebih dari rata-rata perempuan Indonesia adalah aset yang menguntungkan, terutama dalam mendapatkan udara segar di dalam gerbong. Sayangnya strategi ini hanya bisa digunakan jika saya di dalam gerbong khusus wanita, karena begitu saya menumpang di gerbong campur, saya pasti menjelma menjadi sejenis lemper kekurangan oksigen karena terhimpit tubuh penumpang laki-laki yang semuanya lebih tinggi dari saya. Satu-satunya cara agar saya tidak perlu menjelma menjadi lemper brutal yang saling berebut untuk masuk gerbong adalah berjalan sejauh mungkin hingga mencapai gerbong terdepan, karena hampir tidak ada orang yang turun dari gerbong terdepan (terlalu jauh dari pintu keluar stasiun) dan persaingan penumpangnya untuk masuk ke gerbong relatif lebih ‘jinak’. Walaupun tentu saya tetap jadi lemper saat sudah berada di dalam, tapi setidaknya tidak brutal dan agresif.
Selain peliknya prosedur untuk masuk gerbong saat jam-jam pulang kantor yang keriuhannya hampir menyerupai arena gladiator haus darah, ada juga permasalahan lain yang kerap saya temui. Permasalahan tersebut terutama adalah terlalu seringnya gangguan yang dialami oleh perjalanan KRL Commuter Line maupun KRL Ekonomi sehingga sangat menghambat perjalanan sejuta umat ibukota. Gangguan ini bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari gangguan sinyal dari kabel listrik, gangguan rel yang retak atau patah, gangguan rangkaian kereta yang rusak, hingga kereta yang ‘loncat’ ke jalur sebelahnya; seperti yang baru-baru ini terjadi di Stasiun Cilebut. Gangguan seperti ini meskipun hanya dialami dalam waktu yang singkat atau hanya terjadi pada satu rangkaian kereta saja, mau tidak mau turut berpengaruh pada kelancaran perjalanan kereta lainnya. Kereta datang terlambat dan penumpang kemudian menumpuk sehingga semakin sulit untuk masuk ke gerbong. Selama dua bulan saya menjadi penumpang KRL, gangguan seperti ini terjadi sudah lebih dari 5 kali sehingga tidak heran warga Jakarta dan sekitarnya kesehatan mentalnya juga sering ikut kena gangguan.
Jika sedang ada gangguan, saya biasanya harus menunggu hingga 3 rangkaian kereta lewat baru saya bisa dapat rangkaian kereta yang kepadatannya agak manusiawi dan ikut untuk masuk ke dalam. Kadang semakin malam bukannya semakin sepi, namun justru semakin riuh. Suatu kali, karena adanya gangguan, kereta yang seharusnya sudah lewat 3 kali tidak kunjung datang. Stasiun pun berubah menjadi menyerupai Masjidil Haram di musim naik haji (lebay, saya belum pernah naik haji atau pergi umroh sekalipun, tapi emang rame banget). Akhirnya saya memilih ikut kereta ke arah Tanah Abang dan lanjut pulang naik taksi. Saya tiba di rumah pukul 21.30 malam padahal saya sudah keluar dari kantor saya di Tebet pukul 17.30.
Luar biasa!
Baru dua bulan, namun sudah sekian banyak hal yang harus saya serap dan pelajari. Beberapa orang mengeluhkan kenaikan harga yang signifikan tanpa adanya peningkatan pelayanan yang setara. Beberapa lagi terlalu frustrasi untuk sekedar mengeluh, mereka memilih untuk melakukan apa saja yang membuat mereka bisa memperoleh kenyamanan dalam berkendara dengan KRL itu sendiri, meskipun harus mengorbankan kenyamanan orang lain. Misalnya dengan ngotot berusaha menahan pintu KRL Commuter Line tetap terbuka agar bisa menampung diri mereka di dalam kereta yang sudah terlalu penuh, tidak peduli makan dan minum atau membuang sampah di dalam gerbong, berinisiatif untuk menyeberang rel begitu saja tanpa mengikuti jalur yang disediakan, bahkan menggunakan kursi kecil yang dibeli sendiri di abang-abang untuk duduk di dalam kereta meskipun tahu itu berarti membuat penumpang lain yang berdiri berdesakan merasa sangat terganggu.
Saya sendiri tidak tahu harus mulai dari mana jika pun saya ingin mengeluh. Sejauh ini saya masih berusaha mempelajari, memahami, dan tentu saja mengalami. Toh selain hal-hal yang mengganggu perjalanan tersebut masih banyak hal-hal yang saya sukai dari mengendarai KRL. Apalagi KRL memang yang tercepat dan sesungguhnya yang paling efisien di Jakarta ini bila dibandingkan dengan moda transportasi lain. Sejauh ini sebagai warga biasa peran yang bisa saya lakukan adalah mengikuti peraturan berkendaraan umum dengan tertib. Mulai dari hal-hal terkecil seperti mengantri tiket dengan benar, menunggu di peron dengan tertib, menyeberang jalur kereta di tempat yang sudah disediakan, dan tidak memaksa masuk gerbong bila memang sudah penuh sehingga pintu tetap bisa tertutup dan AC tidak rusak. Hal lainnya yang bisa saya lakukan sebatas menuliskan pendapat saya mengenai pengalaman saya berkendara dengan KRL.
Tetap saja ini adalah pengalaman yang menarik bagi saya. Paling tidak saya tahu bahwa kelelahan ini dirasakan bersama-sama oleh sekian ribu penduduk kota.
Saya tidak tahu mana yang lebih membuat lelah, perjalanan yang dipenuhi ketidaknyamanan atau harapan akan kenyamanan itu sendiri yang tidak kunjung terpenuhi?
– D! –