Tagged: lesson learned

Meredefinisikan Mimpi (A Long Post)

The Half and Half Man

“I wrote this book for my five-year-old self. Isn’t that a bit sad, you might ask, giving something to yourself that took 17 years to afford? And I can’t argue with that. It is sad. But this is a sad book. Don’t get fooled by the cheery cutesy graphics. This is a really sad book – not sad in the way people dying is sad, but sad in the way a kiwi never learning how to fly is sad. You see, it’s about how life is all to do with compromise. When you’re born, you compromise on being someplace better. You arrive with these dreams and wishes and ambitions that slowly crack at the edges as reality shows up and you have to grow up to grow up. You have to take care of your mom and dad, you have to make time for family, you have to do this and that, and in the blink of an eye you’re no longer young and have more veins on your ankles than laugh lines on your face to show for it. I’m not saying this because it’s a very bad thing. It’s not even a very good thing. What it is, is a very real thing. That’s why I wanted to give this book to me. Not just to me, but to all the dreamers in the world, to show them what can happen if they’re not careful with their dreams, to get them to get their game faces on to fight for their corner of the world. It is a sad and short life we are given, and dreams aren’t always kind to timelines.”

*this is a long post and you have been warned*

Beberapa minggu yang lalu, Ramda memberi saya link buku cerita bergambar yang ditulis (dan digambar) oleh  Jonathan Chan . Seperti yang tertulis di atas, buku ini bercerita tentang bagaimana hidup dipenuhi dengan kompromi. Buku ini bercerita bahwa pada saat-saat tertentu, seiring dengan tumbuh dewasanya seseorang, seseorang harus berkompromi dan rela melepaskan mimpinya karena mimpi tersebut tidak lagi sesuai dengan kehidupan nyata yang harus ia jalani sehari-harinya. Secara umum, meskipun dipenuhi dengan grafis yang sangat indah dan penuh warna, ini adalah buku yang cukup sedih dan depresif.  Setidaknya buku ini bisa membuat teman-teman seusia saya yang mungkin sedang sibuk mencari kerja dan membangun hidup kemudian menjadi galau, apalagi mereka yang sudah  lebih dulu mengalami quarter life crisis (omong-omong, kalau ada yang tertarik mengenai isu ini bisa menghubungi teman saya Inayah Agustin yang kebetulan meneliti tentang isu tersebut untuk tesis-nya).

In one way or another, just like everybody else who’s now in their 20’s years of life, the book has caught me to think and evaluate how I have been living my life lately. 

Orang-orang yang kenal saya cukup dekat mungkin tahu betapa inginnya saya berkecimpung di dunia psikologi kesehatan dan berkontribusi di bidang pendidikan, entah dalam bentuk apa, tapi terakhir kali saya ingat saya masih ingin sekali menjadi dosen sekaligus praktisi. Awalnya, minat saya kepada dua sektor tersebut lebih banyak didasari oleh isu pribadi, sebagian dari pembaca mungkin sudah tahu bahwa ibu saya meninggal karena kanker payudara. Walau demikian, ketertarikan tersebut semakin tumbuh mengingat kedua hal tersebut merupakan kunci kualitas hidup individu, masyarakat, dan tentunya  bangsa. Lama kelamaan, rasanya saya semakin ingin memberikan apa yang saya bisa ke dalamnya agar keduanya menjadi lebih baik lagi. Terlebih setelah menjalani masa-masa praktek di institusi-institusi, saya semakin melihat bahwa  pelayanan dan fasilitas dalam dua sektor tersebut masih sangat kurang memadai. Saya bahkan bermimpi suatu hari membangun sebuah klinik dengan pelayanan kesehatan yang terintegrasi (terdiri dari dokter, ahli kesehatan masyarakat, ahli gizi, perawat, psikolog, dan sebagainya sehingga selain pelayanan kesehatan juga tersedia edukasi mengenai kesehatan bagi pasien dan caregiver-nya) dengan biaya jasa yang sangat minim bahkan gratis bagi mereka yang lebih membutuhkan.

Meskipun demikian, teman-teman saya mungkin juga sudah tahu bahwa saya harus memendam mimpi dan keinginan saya tersebut dalam-dalam sejak peristiwa ayah saya terkena serangan stroke. Sejak saat itu, saya sebagai anak pertama bertanggung jawab atas seluruh keperluan rumah tangga dan mengatur pemasukan. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, sama sekali tidak mudah mengatasi seluruh persoalan yang terjadi di rumah saya. Saya harus membayar hutang-hutang ayah, harus mencari tempat tinggal, harus membantu biaya sekolah adik-adik saya, harus membiayai kebutuhan hidup sehari-hari sekaligus perawatan ayah saya, dan sebagainya, let alone get married and build a family with the man I love. Dan memang semuanya harus, karena dalam hal ini saya tidak punya pilihan. Tentunya untuk melakukan semua hal tersebut saya membutuhkan uang dalam jumlah yang (sangat) besar untuk ukuran anak seusia saya, dan kita sama-sama tahu, bekerja sebagai pengajar atau staf rumah sakit tidak bisa memberikan apa yang saya butuhkan saat ini. Ada kewajiban yang lebih penting dan perlu saya selesaikan terlebih dahulu.

 Terkait dengan hal tersebut, kira-kira dua minggu yang lalu sebuah e-mail masuk ke dalam inbox saya. Ternyata e-mail tersebut datang dari pembimbing skripsi saya. Beliau menginformasikan bahwa skripsi saya: Kualitas Hidup Penderita Kanker Payudara yang Telah Mengalami Mastektomi telah melalui proses peer-review untuk diterbitkan dalam jurnal Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya. Buat orang lain mungkin hal tersebut adalah hal kecil dan biasa, buat saya berita tersebut membuat hati saya terlonjak senang. Mengapa? Karena ini berarti kesempatan saya untuk menyampaikan apa yang saya tahu terkait dengan topik skripsi saya tersebut kepada audiens di luar kampus saya sendiri kemudian terbuka lebar. Selain itu, berhubung saya sudah lama ingin menjadi seorang dosen sekaligus praktisi di bidang psikologi kesehatan, tentu hal ini memberikan peluang lebih besar bagi saya untuk berkorespondensi dengan mereka yang mungkin memiliki minat serupa, dan tentu saja saya akan memperoleh kredit untuk penelitian saya dalam hal ini. Salah seorang reviewer juga sempat mengemukakan bahwa topik penelitian saya menarik dan belum cukup banyak yang meneliti hal tersebut sehingga bisa saja dikembangkan lebih lanjut.

Seiring pula dengan adanya berita tersebut, saya dapat kabar bahwa beberapa rumah sakit buka lowongan untuk psikolog. Selain itu, muncul pula program Pencerah Nusantara , sebuah gerakan yang mengajak para dokter, dokter gigi, perawat, psikolog dan pemerhati kesehatan masyarakat, untuk memberikan 1 tahun untuk ditempatkan di pusat pelayanan primer di berbagai daerah di Indonesia untuk melakukan reorientasi peran layanan kesehatan primer. Singkatnya, seperti Indonesia Mengajar, namun bergerak di bidang Kesehatan. Pendaftaran program ini dibuka mulai 4 Mei 2012 dan akan berakhir tanggal 11 Juni 2012.

 Tentu saja saya merasa sangat excited, sekaligus juga sedih, dan mungkin juga marah.

Excited karena saya melihat semakin banyak kesempatan bagi seorang lulusan S2 profesi Psikologi Klinis seperti saya untuk berkecimpung di bidang kesehatan. Sekaligus juga sedih dan marah, karena saya harus menunda keterlibatan saya tersebut. Menunda entah sampai kapan, atau bahkan apakah akan ada lagi kesempatan serupa bagi saya di waktu-waktu yang mendatang.

Mungkin ini salah satu yang disebut sebagai berkompromi dengan hidup. Tentang bagaimana mimpi-mimpi kita belum tentu dapat terwujudkan semuanya. Serapi dan sesempurna apapun kita merancang dan mempersiapkannya. Mungkin juga ini waktu buat saya untuk kembali bertanya ke dalam diri saya, apakah mimpi itu buat saya.

Buat saya, sebuah mimpi hidup dan menjadi penting bagi kita karena mimpi tersebut punya makna.

Apa makna mimpi tersebut bagi saya?

Apakah saya benar-benar ingin membuat sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan di negara saya menjadi lebih baik? Atau saya sebetulnya ingin memuaskan rasa ingin tahu saya (yang terus menggelegak dan saya harap tidak kunjung padam) mengenai proses meninggalnya ibu saya karena suatu penyakit kronis? Atau rasa ingin tahu saya terhadap kematian itu sendiri dan bagaimana kita mempersiapkannya? Apakah ini justru sebagai cara saya untuk melakukan kompensasi terhadap rasa bersalah saya terhadap ibu soal bagaimana saya tidak pernah cukup waktu untuk merawat dan memahami beliau ketika beliau masih ada (dan mungkin sekarang juga berkembang menjadi rasa bersalah terhadap ayah saya, berhubung beliau sekarang juga jatuh sakit)? Apakah ini wujud rasa marah saya karena saat ibu sakit saya merasa beliau tidak mendapatkan perawatan yang cukup baik, seperti apapun ayah saya berusaha?Apakah ini semata keinginan pribadi saya agar menginspirasi adik-adik saya sebagai panutannya? Atau jangan-jangan mimpi tersebut muncul sebagai cara untuk memperoleh kebanggaan diri, pemberi rasa iri pada orang lain?

Mungkin ini bukan waktu saya mewujudkan mimpi.

Mungkin ini waktu saya untuk memahami.

Mungkin ini waktu saya untuk kembali me-redefinisikan mimpi.

-D!-

“Tolong”

Kita mungkin sudah sering mendengarkan begitu banyak orang yang menganjurkan dan mengimbau kita untuk senantiasa memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, baik dengan atau tanpa diminta terlebih dahulu. Sejak kecil kita dididik untuk peka dan membantu orang-orang di sekitar kita dan diberitahu lewat cara apa saja kita dapat memberi pertolongan hingga kita hapal mati di luar kepala apa yang harus kita lakukan, siapa saja orang yang sekiranya dapat dikategorikan sebagai mereka yang membutuhkan pertolongan, termasuk pula apa konsekuensi yang kita terima dari memberi pertolongan. Singkatnya, kita telah paham betul mengenai pentingnya memberi pertolongan kepada orang lain.

Walau demikian, sadarkah kita bahwa hal yang tidak kalah penting dari memberi pertolongan adalah meminta pertolongan?

Beberapa bulan terakhir saya memperoleh pelajaran yang luar biasa berharga tidak hanya mengenai memberi pertolongan, namun justru tentang meminta pertolongan.

Saya sadar betul bahwa meminta pertolongan dari orang lain membutuhkan keberanian. Sebagian besar orang justru tidak suka meminta pertolongan karena beranggapan bahwa meminta pertolongan berarti menunjukkan bahwa kita lemah dan tidak mampu mengatasi permasalahan kita sendiri. Dengan demikian, kita (paling tidak, saya) lebih memilih untuk berpegang pada kalimat “saya bisa melakukan semuanya sendiri”, padahal tidak selamanya hal tersebut berlaku demikan.

Selain karena tidak mau dianggap lemah, sebetulnya ada beberapa hal yang menyebabkan kegiatan meminta pertolongan dari orang lain menjadi sulit untuk dilakukan, yaitu (a) pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah orang yang menawarkan pertolongan tersebut tulus atau tidak, (b) bagaimana pandangan orang tersebut apabila saya meminta tolong kepadanya, dan terakhir, (c) pertolongan apa yang sebetulnya saya harapkan dari orang tersebut. Percayalah bahwa ketiganya merupakan hal yang sangat sulit untuk diatasi, paling tidak berdasarkan pengalaman saya dalam beberapa bulan belakangan.

Pikir saja begini, berapa kali dalam hidup teman-teman sekalian menawarkan pertolongan atau bantuan kepada teman atau kerabat yang mungkin kalian anggap sedang membutuhkan, dan ternyata tidak memperoleh tanggapan lebih lanjut dari mereka? Padahal kalian yang berusaha menawarkan bantuan/pertolongan akan merasa senang jika akhirnya orang yang kalian tawari tersebut betul-betul meminta pertolongan kalian.  Saya yakin, jawabannya cukup sering.

Sebaliknya, ketika teman-teman sekalian yang sedang dalam kondisi kesullitan dan membutuhkan pertolongan serta tidak memperoleh respon yang sesuai dengan yang teman-teman harapkan, apa yang teman-teman pikir saat itu? Kemungkinan besar jawabannya adalah teman-teman akan beranggapan orang-orang yang menawarkan bantuan/pertolongan hanya sekedar berbasa-basi dan tidak benar-benar tulus ingin membantu.

Siklus salah paham tak berkesudahan tersebut sepertinya terjadi pada saya (dan mungkin juga sebagian dari kalian).

Dampaknya?

Apabila saya sedang dalam posisi orang yang membutuhkan bantuan/pertolongan dari orang lain, saya akan merasa kesal dan putus asa. Seolah-olah tidak ada orang-orang yang benar-benar peduli dan betul-betul tulus ingin membantu saya. Saya merasa harus mengerjakan semuanya sendirian. Sementara itu, apabila saya sedang berada dalam posisi orang yang menawarkan bantuan/pertolongan, saya akan berpikir bahwa orang yang saya tawari tidak membutuhkan bantuan/pertolongan saya. Selain itu, saya akan merasa sangat tidak enak jika berulangkali menanyakan padanya dan tidak mau dianggap terlalu ikut campur permasalahan orang lain. Jika orang yang ingin memberikan pertolongan dan yang membutuhkan pertolongan memiliki hubungan yang cukup dekat atau penting– sahabat, pacar, kerabat, dan sebagainya—maka siklus salah paham ini akan menjadi sesuatu yang membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi frustrasi dan serba salah. Lama-kelamaan satu sama lain justru mengembangkan sikap apatis dan justru betul-betul menjadi cuek karena takut salah dalam bertindak dan tidak mau kecewa lebih lanjut karena ekspektasi mereka tidak terpenuhi.

Berdasarkan pengalaman tersebut, beberapa hal yang saya pelajari mengenai tolong-menolong adalah :

  1. Sebagian besar orang yang menawarkan bantuan/pertolongan betul-betul tulus. Mereka benar-benar ingin menolong. They mean it.
  2. Tanggung jawab untuk follow-up tawaran bantuan tersebut, sebetulnya terletak pada pihak yang membutuhkan pertolongan, bukan pada pihak yang menawarkan pertolongan.
  3. Cara yang paling ampuh untuk akhirnya membuat orang memberikan pertolongan sesuai dengan apa yang kita harapkan adalah dengan mengomunikasikan secara spesifik apa yang kita butuhkan.

Nomor 1 dan 2 saya sadari betul saat saya sedang dalam posisi menawarkan bantuan kepada orang lain. Saya betul-betul ingin menolong orang tersebut, namun saya sendiri takut untuk menanyakan lebih lanjut maupun mengecek ulang apa-apa saja yang bisa saya bantu. Karena saya merasa kebingungan dan takut justru mengganggu orang yang hendak saya bantu, atau saya sendiri justru terlanjur disibukkan oleh kegiatan saya yang lain.

Sedangkan yang nomor 3, yang merupakan pelajaran terpenting saya dalam beberapa bulan terakhir. Teman dan kerabat saya bukan cenayang yang bisa membaca pikiran. Saya akhirnya sadar betul bahwa sayalah yang harus mengubah cara berkomunikasi saya dengan lebih asertif dan spesifik. Hal ini sangat membantu sehingga saya tidak perlu hidup dalam ekspektasi saya sendiri tanpa pernah menyampaikannya pada orang lain dan kemudian menjadi kecewa karena ekspektasi tersebut tidak terpenuhi.

Sejak saat itu saya belajar untuk meminta tolong secara spesifik. Mulai dari spesifik orang, spesifik jenis bantuan yang saya inginkan, dan tentu saja spesifik waktu. Sebagai contoh, daripada sekedar mengatakan, “Nanti tolongin gue ya pas Garage Sale”, saya belajar bahwa lebih efektif untuk mengatakan, “Nanti pas Garage Sale hari Senin, gue bisa minta tolong lo nggak untuk angkatin rak baju yang akan dipajang nanti pas pagi sebelum mulai?”. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada tenaga yang terbuang sia-sia untuk merasa kesal dan putus asa karena merasa tidak ada yang peduli terhadap saya dan tidak ada yang benar-benar mau membantu saya.

Pada prakteknya hal ini mungkin jauh lebih sulit daripada teorinya. Sebagian besar dari kita, termasuk saya, seringkali lebih memilih untuk bersikap pasif-agresif seperti menyindir secara halus dan mengatakan, “aduh gue tuh capek banget ngerjain semuanya sendirian, soalnya yang lain juga lagi sibuk kan” daripada langsung mengatakan apa yang kita butuhkan secara asertif dan spesifik. Saya sadar betul bahwa sebetulnya saya membantu dua pihak dengan berkomunikasi secara asertif. Pertama, tentu saja saya membantu diri saya sendiri untuk meringankan beban dan menghilangkan waktu dan tenaga yang terbuang secara sia-sia. Dan kedua, saya membantu teman-teman saya yang sebetulnya sangat baik hati dan sudah ingin membantu saya namun tidak tahu harus berbuat apa. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa tidak berguna bagi saya. Bahkan saya sendiri terkejut mengetahui fakta bahwa teman-teman saya merasa sangat lega dan senang dapat membantu saya.

Sejak itu saya baru benar-benar belajar bahwa lingkungan tidak akan berubah, kecuali kita mengubah diri kita sendiri terlebih dahulu.

 

 It is not the shoes adapting with your feet.

It is the other way around.

-D!-

 

Menunggu

Siapa yang tidak setuju bahwa menunggu adalah pekerjaan paling menyebalkan yang bisa kita lakukan?

Saya yakin sebagian besar dari kita  pernah merasakan kekesalan selama menunggu. Setidak-tidaknya, kita pernah satu dua kali mengeluhkan soal menunggu di akun media sosial kita. Entah menunggu bel pulang sekolah berbunyi, menunggu datangnya kendaraan umum, menunggu kabar dari bos atau dosen, menunggu tanggal 25 setiap bulannya, menunggu balasan pesan dari yang tercinta, menunggu hujan reda; hingga menunggu sesuatu yang terkadang seolah tidak akan pernah datang, seperti jodoh,  atau hari dimana Jakarta terbebas dari kemacetan, misalnya.

Menunggu identik dengan kebosanan, dan menuntut pula kesabaran.

Selama ini saya sendiri terbiasa berpikir bahwa menunggu merupakan suatu keadaan idle, dimana kita ‘terpaksa’ harus berdiam diri tanpa bisa melakukan apa-apa. Kalaupun saya melakukan sesuatu yang lain selama menunggu, rasanya pikiran ini tidak tenang karena tahu bahwa yang sedang saya lakukan bukanlah sesuatu yang menjadi fokus saya saat itu. Rasanya tidak tenang karena tahu saya punya jadwal setumpuk yang harus dilakukan setelahnya kegiatan menunggu saya selesai. Oleh sebab itu apapun yang saya lakukan saat saya sedang menunggu tidak pernah benar-benar saya nikmati, kecuali bila saya menunggu sambil bengong.

Akhir-akhir ini saya seperti dipaksa untuk belajar bahwa menunggu bukanlah kegiatan idle, dan bahwa menunggu tidak sama artinya dengan menganggur atau berpangku tangan. Begitu banyak kejadian yang (menurut saya) sangat buruk dan mengejutkan terjadi pada saya, dan keluarga saya dalam dua bulan terakhir. Singkatnya, ayah saya terserang stroke sehingga beliau tidak dapat mengingat apapun dan penglihatannya terganggu. Beliau meninggalkan banyak sekali hutang dalam jumlah besar yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Mungkin merupakan akumulasi dari biaya perawatan almarhumah ibu saya, mungkin juga untuk kepentingan rumah tangga, mungkin untuk kepentingan sekolah saya, mungkin juga untuk yang lain. Sementara uang yang tersisa sama sekali tidak mencukupi, dan tidak ada yang tahu apakah ayah saya bisa sembuh lagi. Tidak perlu saya jelaskan lagi seperti apa keadaannya.

Kacau.

Saya rasa itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan situasinya.

Semuanya kacau.

Ada kemarahan yang tidak berkesudahan atas segala hal yang saya anggap tidak adil terjadi pada saya, ada rasa sedih yang tidak bisa saya sampaikan kepada orang lain, ada kelelahan luar biasa terhadap semuanya, ada ketakutan untuk terus berhadapan dengan kehidupan, ada kesepian karena tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa diandalkan, dan tidak terelakkan lagi, kemudian hadir pula keputusasaan. Saat semuanya seolah menemui jalan buntu, saat saya benar-benar merasa sendirian. Di titik-titik tertentu, saya bangun pagi tanpa merasakan apa-apa dan menjalani hari seolah semuanya tidak ada artinya lagi.

Saat semua usaha yang dilakukan seolah tidak pernah cukup.

Di situ saya tidak mau melakukan semuanya lagi dan ingin ini semua berhenti. .

Dan lalu saya tersadar bahwa mungkin saya harus menunggu.

Sejak itu saya merasa bahwa menunggu tidak pernah sesibuk dan semelelahkan ini. Menunggu tidak lagi sebuah kegiatan membosankan tanpa melakukan apa-apa. Menunggu telah menjadi proses yang terjadi setiap harinya. Menunggu telah menjadi hidup itu sendiri.

Saya harus menunggu kapankah atau adakah kondisi ayah saya dapat membaik, saya kemudian harus menunggu waktu dimana satu persatu hutang dapat terlunasi, saya kemudian juga harus menunggu saat dimana saya bisa lulus dan memperoleh uang sendiri. Menunggu saat saya bisa tahu bagaimana cara mengatur waktu antara satu dengan lain, memilah perasaan, dan mengatur pula perkataan. Menunggu untuk mengerti arti sebenarnya dari keluarga. Menunggu untuk tahu apa yang disebut persahabatan. Menunggu saat dimana semuanya menjadi lebih baik, entah dalam bentuk yang seperti apa. Juga menunggu saat dimana mungkin suatu hari ada kesempatan untuk percaya bahwa mimpi-mimpi saya tidak hilang begitu saja.

Saya harus menunggu, mungkin bukan untuk menjadi lebih kuat. Mungkin bukan untuk menjadi lebih kaya. Bukan untuk dapat menyelesaikan semuanya. Bukan juga untuk kemudian menjadi pongah seolah tidak membutuhkan bantuan dari yang lainnya. Bukan juga untuk kemudian lupa bahwa ada Dia yang mengatur segalanya.

Mungkin saya menunggu saat saya jadi dewasa dan menjadi benar-benar menjadi manusia.

Sedikit saja lebih lama. Dari yang sudah ada.

– D! –

#PraktekInstitusi 2: Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Polres Depok

Selamat pagi, masih bercerita tentang rangkaian #PraktekInstitusi, tempat kedua yang menjadi tempat praktek kami, para calon psikolog klinis adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Polres Depok (selanjutnya akan ditulis dengan PPA).

Apa itu PPA? 

Unit PPA adalah salah satu unit bagian dari Reserse Kriminal yang melayani kasus-kasus kriminal seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maupun pelecehan seksual. Tugas kami di sini adalah melakukan pemeriksaan baik terhadap tersangka pelaku dan korban kasus-kasus tersebut. Tujuan kami adalah untuk mendapatkan kelengkapan fakta hukum dan terutama hal-hal apa yang mendasari seseorang dapat bertingkah laku demikian, sehingga nantinya kami dapat memberikan surat keluar terhadap pihak kepolisian sebagai bahan pertimbangan jaksa di pengadilan dalam menjatuhkan putusan hukum terhadap suatu kasus. Singkatnya, peran kami di sini adalah sebagai seorang saksi ahli yang membantu para penegak hukum.

Banyak sekali pengalaman yang menarik di sini, berhubung ternyata bagi kami, paling tidak bagi saya, ini adalah dunia yang baru dan luar biasa berbeda dengan dunia yang biasa kami geluti. Di unit PPA ini kami dipanggil apabila sedang ada kasus yang ditangani, dan kami terkejut menyadari begitu banyaknya kasus-kasus dan pengaduan-pengaduan yang masuk setiap harinya ke unit PPA. Dalam dua ruangan kecil, berbagi dengan bapak dan ibu penyidik kami melakukan pemeriksaan yang diselingi oleh suara gertakan-gertakan interogasi para penyidik yang juga sedang memeriksa tersangka pelaku maupun korban.

Di sini, yang segera saya sadari adalah betapa berbedanya pendekatan yang dilakukan oleh para penegak hukum, dengan kami, para (calon) psikolog, dimana hal ini seringkali membuat saya salah tingkah dan tidak tahu seperti apa harus menghadapi klien yang saat itu sedang saya periksa. Di satu sisi kami harus tetap menjaga kesejahteraan psikologis klien yang sedang kami periksa dengan tetap menghormati dan bersikap sopan terhadapnya serta senantiasa mempraktekkan kemampuan empati yang memang senantiasa dituntut dari kami. Namun di sisi lain, kami juga harus mengingat-ingat untuk menjaga diri agar tidak terbawa dalam cerita tersangka (dan mungkin juga korban) yang bisa saja dibuat-buat dan diceritakan dengan cara yang sangat manipulatif.

Saya menyadari bahwa peran tes-tes psikologis sebagai alat bantu menjadi sangat penting sekali di sini. Kesulitan berkomunikasi dengan klien-klien di PPA, baik itu karena inteligensi yang rendah (percayalah, kami menemui banyak sekali kasus dimana tersangka sendiri bahkan tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, apa konsekuensi hukumnya, dan mereka juga tidak mampu menjabarkan dengan baik setiap kejadian yang mereka alami, mungkin juga karena kendala bahasa dan kata-kata yang serba terbatas dan penggunaan istilah yang berbeda), maupun karena mereka yang bersikap manipulatif terhadap pemeriksa. Proses wawancara menjadi sesuatu yang sangat melelahkan bagi saya karena sulit sekali menggali informasi yang ingin saya ketahui mengenai kejadian perkara dan mengenai latar belakang klien itu sendiri. Saya sangat bersyukur masih ada tes-tes yang membantu saya, karena jika tidak maka saya harus mengulangi pertanyaan yang sama sebanyak lebih dari 3 kali dengan mengubah kata-katanya agar klien saya dapat mengerti yang saya maksud.

Selain kesulitan tersebut, kesulitan lain juga muncul berkaitan dengan perbedaan norma-norma yang bagi saya, dan juga bagi teman-teman saya yang lain (kami sering berbagi mengenai kasus yang sedang kami tangani, tentu dengan tetap berusaha menjaga identitas klien), sangat berbeda dan sulit sekali kami pahami. Di sini kami belajar untuk melihat bahwa ada saja seorang pemuda yang memutuskan untuk membina hubungan romantis (yang mereka bilang serius) dengan seorang gadis remaja ‘hanya’ setelah proses perkenalan melalui sms iseng dan saling telepon selama 3 hari saja. Di sini kami juga melihat bahwa orang bisa saja melakukan persetubuhan di sebuah kebun kosong di sore hari. Atau seorang kakek yang menyetubuhi anak dan cucunya karena alasan syarat pesugihan. Atau seorang laki-laki dewasa, yang merupakan ayah dari 3 orang anak perempuan, yang melihat seorang anak kecil perempuan berjalan-jalan di depannya dan pikiran pertama yang terlintas di benaknya adalah, “bisa dipake tuh kayaknya”. Sedangkan anak-anaknya di rumah disuruhnya mengenakan jilbab. Dan masih banyak lagi hal-hal yang menurut kami sangat ‘menarik’ untuk digali.

Logika berpikir yang umumnya saya gunakan tampaknya dimentahkan di sini karena proses berpikirnya menjadi sangat berbeda dengan yang umumnya kami kenal dan gunakan.

Berempati dengan para pelaku maupun korban menjadi suatu tantangan tersendiri bagi saya di sini. 

Bagi teman-teman yang tertarik untuk mendalami psikologi klinis, dan menyukai proses-proses penyelidikan polisi seperti yang ada di film-film (kami menyebutnya psikologi forensik), ini bisa tempat yang mungkin kalian sukai sebagai ajang berlatih kepekaan kalian.

Selain hal-hal di atas, satu hal lain yang membuat saya agak pusing adalah melihat betapa banyaknya laporan pengaduan tindak kriminal semacam ini sehari-harinya di PPA. Dan itu baru yang terlaporkan saja. Bayangkan berapa banyak di luar sana kasus-kasus semacam ini terjadi? Intervensi seperti apa yang bisa kami lakukan untuk melakukan pendekatan perubahan tingkah laku terhadap orang-orang ini? Padahal kita pun tahu, bahwa konsekuensi hukum tampaknay tidak cukup dikenakan pada mereka hingga akhirnya jera karena kita pun tahu mereka bisa berkelit dengan alasan keadaan yang sulit, dan memang harus diakui sulit.

Ini menjadi pertanyaan yang masih berputar di kepala saya sampai sekarang.

– D! –

#PraktekInsitusi : Bimbingan Konseling Mahasiswa UI

Hai, kemarin-kemarin saya sepertinya sudah berjanji untuk cerita tentang tempat-tempat saya praktek. Yah, walaupun memang tidak ada yang minta, tapi mudah-mudahan bisa bermanfaat memberikan gambaran bagi teman-teman yang tertarik untuk menggeluti psikologi, khususnya teman-teman yang ingin ambil S2 profesi psikolog klinis dewasa.

Tempat praktek pertama saya adalah lembaga Bimbingan Konseling Mahasiswa UI (BKM UI).  BKM berlokasi di lantai 2 Pusat Kesehatan Mahasiswa (PKM), Gedung Kesejahteraan & Fasilitas Mahasiswa Kampus UI, Depok. Bagi teman-teman yang belum tahu, PKM UI terletak di sebelah Fakultas Ilmu Keperawatan dan di seberang Fakultas Kesehatan Masyarakat.

BKM itu apa sih?

BKM adalah lembaga yang melayani kebutuhan konseling terhadap mahasiswa UI secara gratis, mencakup masalah akademik, keluarga, pribadi, dan hubungan sosial.  Tidak banyak yang tahu bahwa 39% dari mahasiswa UI mengalami masalah yang menyebabkan mereka mengalami psychological distress (Utama, 2010). Jumlah tersebut merupakan jumlah yang cukup besar untuk kondisi kehidupan normal seperti yang dijalani oleh mahasiswa UI. Jumlah 39% tersebut hampir mendekati jumlah tingkat  psychological distress yang terdapat di daerah konflik. Penelitian yang dilakukan oleh Turnip & Hauff (2007) menemukan bahwa tingkat psychological distress tinggi pada masyarakat Ambon yang mengalami konflik adalah sebesar 47 %. Banyaknya tingkat psychological distress yang tinggi pada mahasiswa UI seharusnya tidak sebesar itu, sebab mereka hidup dalam kondisi yang relatif aman jika  dibandingkan dengan kondisi masyarakat Ambon yang sedang mengalami konflik. Sedangkan

Psychological distress yang tidak ditangani dengan baik ini dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan mental para mahasiswa. Oleh karena itu, BKM berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi setiap mahasiswa yang datang dan membutuhkan bantuan. Adapula kegiatan-kegiatan lain  yang diadakan pula oleh BKM antara lain ialah :

(1) pelatihan konseling dasar utk konselor & dosen pembimbing akademis (PA) mahasiswa,

(2) Peer counseling workshop bagi mahasiswa,

(3) memfasilitasi program preventif utk tiap fakultas,

(4) pelatihan pengembangan pribadi,

(5) Program kelompok, (self help group & support group therapy) utk 5-7 orang yg punya masalah yg serupa, sampai

(6) konseling online melalui e-mail ke bkm-ui@ui.ac.id

Bekerjasama pula dengan fakultas psikologi, fakultas kedokteran, fakultas ilmu keperawatan, dan fakultas kesehatan masyarakat, saat ini BKM telah memiliki 3 psikolog senior, 1 psikiater, dan 1 konselor pendidikan. BKM Memberikan pelayanan tiap Senin-Jumat, 09.00-15.00. Dan demikianlah jam kerja saya saat saya berpraktek di BKM selama 2 minggu. Saya bertemu klien-klien teman-teman mahasiswa yang menceritakan hal-hal yang mengganggu mereka, mulai dari masalah pacar, keluarga, akademis, kesepian, hingga teman-teman yang membutuhkan bantuan lebih dari psikolog.

Saat saya berpraktek di BKM UI, saya merasa belajar cukup banyak hal. Sebetulnya pengalaman menangani klien ini saya rasakan sebagai suatu pengalaman unik. Saya berkesempatan untuk melihat bahwa ada orang-orang yang dibalik kelebihan-kelebihan maupun kesempurnaannya, ternyata memiliki pula ketakutan-ketakutan dan rasa tidak percaya diri mereka sendiri. Saya juga berkesempatan untuk melihat bahwa dibalik semua pujian yang diberikan orang lain terhadap seseorang, ternyata bisa ditepis oleh rasa ketidak percayaan diri yang pelan-pelan menggerogoti dan IPK yang tinggi, bisa tidak berarti bagi seseorang.

Saya juga belajar bahwa memaafkan bisa jadi sangat berat dirasakan, baik memaafkan orang lain, apalagi memaafkan diri sendiri.  Saya selalu berpikir bahwa orang-orang yang datang ke BKM UI ini adalah orang-orang yang berani. Berani karena mereka mau bertanya ke dalam diri mereka sendiri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang harus mereka lakukan untuk mengatasi hal yang mengganggu mereka. Berani untuk membuka diri terhadap orang yang betul-betul asing bagi mereka (dalam hal ini, para psikolog di BKM). Berani berusaha berpikir sampai ke akar-akar masalah yang mengganggu mereka, yang mungkin bagi sebagian besar orang dirasakan berat untuk dilakukan. Dan yang jelas, berani untuk menerima keadaan dan diri mereka sendiri.

Lewat BKM UI saya belajar bahwa sangat normal bagi setiap orang untuk memiliki masalahnya masing-masing :)

– D! –