Tagged: love

Sampai Kapan?

Jadi, ceritanya hari Jumat lalu saya berulang tahun dan sekarang usia saya 22 tahun. Setiap kali ulang tahun saya selalu diingatkan bahwa walau kadang saya merasa jalan hidup ini sulit, dan ada kepahitan-kepahitan yang harus saya rasakan, saya selalu dikelilingi oleh orang-orang baik hati dan sayang sama saya. Dan bahwa akan selalu lebih banyak orang-orang yang mendukung dan ingin saya bahagia dibandingkan orang-orang yang membuat saya kesal dan sedih, baik sengaja, maupun tidak. Serta saya tidak pernah kekurangan cinta dari orang lain.

Alhamdulillah.

Selain itu, ulang tahun selalu menjadi waktu dimana saya merasa semua pertanyaan menumpuk dan mendesak untuk segera mendapatkan jawaban. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh teman saya kemarin adalah, “ulang tahun menunggu lagi? Sampai kapan, Dhe?” Tentu saja dia membicarakan soal pasangan hidup, istilah gampangnya, soal pacar.

Sebelum-sebelumnya, setiap kali ditanya seperti ini saya akan merasa tersinggung sedikit, terus jadi galau, bahkan rendah diri. Iya, sudah 3 tahun saya jomblo dan teman-teman saya rasa-rasanya tidak bosan menggoda saya soal status kejombloan saya ini. Beberapa memang sekadar iseng saja menggoda dan melihat reaksi saya, beberapa mungkin betul-betul mengasihani dan mengira keadaan saya tidak seberuntung dirinya (hayo ngaku deh, ada masa-masa dimana –sedikit saja- kita merasa seperti ini saat membandingkan nasib kita dengan orang lain). Namun ada juga teman-teman yang betul-betul peduli dan ingin melihat saya ada yang ngurusin dan bahagia, seperti orang-orang lainnya dengan pasangan mereka.

Namun akhir-akhir ini saya tidak lagi tersinggung atau galau. Seperti yang ditulis salah seorang teman saya, Aqis, di Tumblr-nya :

Seneng kan tiap malem ada yang bisa diajak ngobrol sampai ketiduran? Seneng kan ditanyain udah makan atau belum, diingetin buat ga nunda shalat? Seneng kan bisa seenaknya cerita hal apapun kapanpun? Seneng kan bisa share se-random apapun yang lagi dipikirin? Seneng kan punya lingkaran orang-orang baru yang udah duluan deket sama dia kaya temen mainnya sampai keluarganya? Seneng kan punya orang yang bisa digombalin walopun sama-sama tau kalo itu cheesy banget hahaha..

Memang pasti menyenangkan kalau mengingat lagi hal-hal yang bisa didapatkan dari pacaran. Dukungan dan teman diskusi tanpa henti, dan alokasi waktu yang banyak sekali dari seseorang untuk kita. Rasanya pasti menyenangkan dianggap spesial dalam hidup orang lain. Namun kemudian ada pula pemikiran-pemikiran lain,

Siap ga nambah peran lagi? Siap ga nyisihin sebagian waktu buat ngejalanin peran itu? Siap ga keilangan (sedikit-banyak) waktu bareng temen-temen baik? Siap ga berbagi potongan hidup yang (pasti) ga selalu nyenengin? Siap ga buat ga terlena sama senengnya punya pacar dan tetep punya cukup ruang buat ga ninggalin banyak waktu bareng temen-temen? Siap ga buat menerima gimana pun dia, dan tahan banting sama apapun yang dibilang orang lain di luar sana tentang dia? Siap ga bikin orang lain lebih baik lagi tiap harinya dengan adanya saya?

Dan yang paling penting, buat apa sebenernya?

Tujuannya apa?

Sampai di sini pasti saya mengambil jeda lebih lama untuk berpikir, tujuannya apa?

Sejauh ini saya belum bisa menemukan jawabannya.

Dan saya rasa saya belum bisa dan mungkin juga belum mau untuk kemudian harus menyesuaikan diri lagi dengan orang lain, harus melewati masa-masa drama percintaan yang menguras terlalu banyak daya kognisi dan emosi untuk sesuatu yang saya belum temukan apa tujuannya.

Belum.

Lalu kemudian, saya kembali ditanya, mau nunggu sampai kapan Dhe?

Ya jawabannya mungkin klise,

sampai saya siap.

atau sampai ada seseorang yang bisa membuat saya siap.

– D! –

Kepada Tempat Saya Menitipkan Hati

Saya sedang mood menulis surat cinta, walau saya tahu belum ada objeknya. Mungkin di antara teman-teman sudah pernah membaca suatu post hasil re-blog yang berjudul, To The Man I Will Someday Love di blog saya ini.  Tulisan ini mungkin akan serupa, namun kali ini versi saya sendiri, dan dalam bahasa indonesia.

Dear you,

Mungkin ini kamu anggap sebagai sesuatu yang terlalu sentimentil dan kamu akan tergelak membacanya.  Itu pun, jika kamu berminat membacanya. Saya tidak keberatan biarpun kamu tertawa atau mencemooh, karena saya mencoba dengan jujur menyampaikan beberapa hal sederhana yang saya ingin kamu tahu. Tentang saya. Mungkin juga tentang kita, suatu hari nanti. Sejujurnya, sampai detik di mana jari-jari saya mengetikan barisan aksara di layar yang sedang saya tatap ini, saya masih skeptis soal kamu. Namun, orang bilang saya tidak boleh terlalu sesumbar, bahwa mungkin saja kamu sedang dalam perjalananmu menuju ke sini, bahwa mungkin saja kamu sudah ada sejak dulu. Bahwa saya yang terlalu pongah untuk mau melihat keberadaanmu di sekitar saya.

Kepada tempat saya menitipkan hati, suatu hari nanti,

Selama ini saya punya bayangan-bayangan yang hebat mengenai kamu. Walau saya tidak bisa mereka-reka wujudmu, namun saya seringkali berharap sosokmu sebagai laki-laki tinggi berkacamata, seperti selera laki-laki yang biasanya saya suka. Lalu suatu hari kamu akan datang, seorang laki-laki cerdas yang akan memukau saya dengan serentetan pengetahuanmu yang luas. Seorang yang membuat saya betah mendengarkan semua yang kamu sampaikan, membuat saya bersedia duduk lama hanya untuk menyimak wacana mengenai ide dan rencana. Lalu kamu akan membuat saya tertawa, seolah tiada habis kata. Saya selalu suka laki-laki yang berhasil membuat saya tertawa.

Lalu saya membayangkan kamu berbagi mengenai selera musikmu, hal-hal yang senang kamu lakukan, teman-temanmu, atau segala hal yang berkaitan dengan pekerjaanmu, sesuatu yang akan membuat saya terpaku. Saya membayangkan kamu pandai memainkan alat musik dan jago matematika, karena saya sama sekali tidak bisa melakukan keduanya. Lalu kamu akan memainkan banyak melodi, yang kamu rangkai sendiri, sekedar membuat saya bersenang hati.

Namun lalu saya terhenti.

Saya sadar bahwa saya pun tidak sempurna. Saya bukan perempuan pintar dan lucu. Selera humor saya sering membuat orang lain bingung dan saya mudah sekali menjadi canggung. Saya juga tak pandai memasak dan selalu panik saat keadaan yang membuat saya terdesak.

Seringkali saya hanya akan mengeluh cengeng atas pertanyaan-pertanyaan hidup yang pasti terus datang menggembleng. Lalu saya mulai khawatir, bagaimana jika kamu melihat bekas-bekas luka atau rasa pilu? Jika akhirnya perlahan mulai membuat kamu betul-betul tahu semua cerita itu. Saya takutkan kamu akan lantas jemu. Kemudian pula berlalu.

Tidak ada janji yang bisa saya beri. Saya hanya bisa bilang saya berjanji untuk mencoba dengan segala usaha yang saya bisa.

Paling tidak, saya akan mencoba menjadi temanmu yang terdekat, bahkan saya mungkin mencoba menggunakan kata sahabat (sesuatu yg tidak pernah saya lakukan sebelumnya). Teman yang berusaha selalu tertawa atas leluconmu yang tidak selalu lucu, tempatmu mengadu saat kamu mengalami sesuatu yang membuatmu lesu, yang mendengarkanmu mengeluh saat harimu penuh dengan peluh. Teman yang menjanjikanmu untuk selalu punya sebuah hati sebagai tempat untuk pulang, betapapun harimu malang.

Dan saya mengerti, yang saya butuh bukan sesuatu yang mengagumkan, yang saya cari adalah nyaman. Tidak selalu kagum, namun mencoba senantiasa maklum. Tempat saya meminjam bahu, jika hidup sedang memaksa saya mengambil jalan buntu. Tempat saya mencari aman, ketika semua membuat saya tidak tahan. Dan kamu juga yang akan selalu menjadi teman diskusi sampai pagi. Teman saya berjuang berbagi mimpi, mengejarnya tanpa henti.

Seorang yang tidak selalu mempesona, mungkin juga justru sederhana, dan dapat mengajarkan saya soalnya. Saya tidak tahu kamu ada di mana. Dan saya bisa menunggu, walaupun tidak sabar rasanya untuk segera bertemu. Dimana kemudian saat kamu ada di sini, rasa hangat akan menyelimuti dada ini. Sehingga kemudian saya setuju, untuk menitipkan hati padamu.

– D! –

Soal Pasangan, Dalam Pikiran Perempuan Dewasa Muda

(continued)

Ayah dan ibu (alm) saya sendiri merupakan dua pribadi yang sangat-sangat berbeda, mulai dari visi-misi, gaya hidup (sejak kecil), dan etos kerja. Ayah saya datang dari sebuah keluarga yang cukup berada yang selalu menerima kemudahan dalam mencapai segala sesuatu yang dibutuhkannya, terutama soal materi. Sementara ibu saya datang dari keluarga yang tidak begitu mampu sampai-sampai beliau harus ikut tinggal dengan keluarga kakak kedua-nya (ibu saya 7 bersaudara) agar bisa disekolahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Otomatis, karena yang satu selalu mendapatkan fasilitas memadai, sementara yang lain hanya bisa ‘menumpang’ fasilitas terbatas yang diberikan oleh kakaknya (yang juga punya anak-anak seumuran dengan ibu saya dengan kebutuhan yang sama), gaya hidup dan etos kerja keduanya berbeda sejak awal.

Ayah saya lebih banyak bersenang-senang selama masa kuliahnya, berpindah-pindah dari satu universitas negeri satu ke universitas negeri lainnya, curangnya, beliau selalu lolos tes masuk. Ayah saya lulus terlambat. Ibu saya, mahasiswa yang aktif berorganisasi, lulusan cumlaude di angkatannya. Ayah saya sangat santai, lebih suka menggambar di kelas dibanding mendengarkan kuliah. Ibu saya pekerja keras sejak kecil. Ayah keras hati, lambat dalam mengambil keputusan karena banyak sekali pertimbangan, beliau tidak ambil pusing apa kata orang, dan orang yang introvert juga tertutup. Sementara ibu, ibu sangat terbuka dalam membicarakan perasaan-perasaannya dan dalam menyampaikan pendapat, senang berbagi dengan banyak orang, mudah panik, dan cenderung meledak-ledak (menurut saya ibu agak neurotik). Menurut keterangan ibu saya, ayah dulu sering mencemooh teman-teman yang datang dari daerah, dan cenderung menggampangkan segala sesuatu, ada kesombongan di situ. Sementara menurut ayah, ibu terlalu serius dalam menanggapi segala sesuatu, tidak bisa bersenang-senang menikmati hidup.

Yet they fall in love with each other.

Jujur, saya sampai sekarang masih nggak paham bagaimana hal tersebut bisa terjadi.

Namun, kata ibu, beliau jatuh cinta pada selera humor ayah, ketenangan ayah, juga tulisan-tulisannya yang ‘dingin’ namun mengayomi (kata-kata ini merupakan kutipan langsung dari ibu, saya nggak mengerti bagaimana sesuatu bisa bersifat ‘dingin’ namun sekaligus mengayomi), ibu juga suka cara ayah yang dekat dengan perlahan, seolah tidak butuh, namun ternyata selalu ada di situ. Sementara ayah tertarik sejak awal dengan bagaimana kecerewetan ibu dalam menyampaikan argumen, keterus-terangan, kerja keras ibu dalam melakukan sesuatu yang disukainya, terutama bagaimana ibu mengajarkan beliau soal kesederhanaan.

Orangtua saya menikah selama kurang lebih 20 tahun. Sepanjang ingatan saya (yang kebetulan pendek), belum pernah ada konflik yang sangat fatal terjadi di antara keduanya, paling tidak, sepanjang yang saya ingat dan saya tahu.  Saya tidak pandai bicara soal cinta, atau hubungan romantis, dan mungkin tidak akan pernah pandai. Namun teman saya, yang juga merupakan senior di kampus, Kak RR pernah bilang,

sebuah hubungan, (cinta) adalah tentang perjuangan,  adalah komunikasi, adalah toleransi. Soal memahami, menerima, dan memaafkan.

Hal ini membuat saya berpikir, mungkin benar adanya persamaan dan kesesuaian akan memudahkan di berbagai aspek dan kesempatan. Namun orang bilang, hidup bukan semata-mata soal bagaimana kita mendapatkan kemudahan dalam perjalanan kita, namun bagaimana kita mengolah kesulitan yang kita hadapi menjadi sesuatu yang bermakna.

It’s a never-ending topic to discuss, I know.

Bagaimana menurut kalian?

– D! –

Soal Pasangan, Dalam Pikiran Perempuan Dewasa Muda

#30harimenulis, Day 9:

Akhir-akhir ini pembicaraan yang sering terjadi di sekitar saya dan teman-teman saya, (selain soal kasus Gayus, kenaikan harga BBM, perkuliahan, project kerjaan, buku apa yang bagus untuk dibaca, atau band mana yang akan konser di Indonesia dalam waktu dekat) bukan lagi soal mencari pacar, topik utama yang hampir selalu hadir dalam setiap kesempatan adalah soal mencari calon suami. Iya, suami. Pendamping hidup sampai akhir hayat. Berat ya kedengerannya? Saya juga suka bingung sendiri kalau sedang terjebak dalam pembicaraan tersebut.

Sejujurnya, pembicaraan-pembicaraan tersebut bukannya membantu membawa titik terang namun justru membuat hidup semakin rumit. Di usia dewasa muda ini tampaknya banyak sekali hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan. Dulu, untuk akhirnya naksir sama orang dan mempertimbangkan orang tersebut sebagai pasangan merupakan hal yang mudah dan cepat. Paling tidak, bagi saya hal-hal yang umum yang dapat menarik perhatian pertama tentu saja kemenarikan fisik, kemudian apakah orang tersebut memiliki wawasan yang luas (hal ini merupakan modal penting untuk mempertahankan alur obrolan), dan hobi atau ‘ke-bisa-an’ di suatu hal tertentu (apakah ia menekuni suatu kemampuan tertentu), tidak ketinggalan pula selera humor yang aneh bagus (saya selalu tertarik dengan orang yang tidak malu untuk terlihat konyol), ketrampilan sosial (dalam arti, sejauh mana ia bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarnya), lalu agama dan suku (untuk saya, kriteria terakhir ini lebih sering menjadi tolak ukur untuk memudahkan penyesuaian dengan orangtua dan keluarga besar).

Di saat hal-hal tersebut tetap menjadi poin penting, muncul lagi beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan yang entah kenapa semakin ke sini semakin menjadi poin penting dalam mempertimbangkan calon pasangan. Hal-hal tersebut, paling tidak di antara saya dan teman-teman saya, adalah visi-misi, gaya hidup, dan etos kerja. Saya jadi bingung sebetulnya ini kriteria untuk mencari pasangan hidup atau  untuk pemilihan kandidat Gubernur. Walau terdengar absurd dan sangat ‘mengintimidasi’, ketiga poin tersebut ternyata telah menjadi hal penting untuk dilihat dari seorang laki-laki dewasa muda (paling tidak, bagi saya dan beberapa teman).

Visi-misi. Visi yang dimaksud di sini adalah apakah orang tersebut memiliki pandangan dan tujuan hidup ke depannya, seperti apa dia ingin membentuk hidupnya (dan keluarganya nanti). Gampangnya, seperti apa rencananya, seperti apa dia akan bertanggung jawab terhadap hidupnya. Visi, kemudian harus diikuti misi. Misi, maksudnya adalah, langkah-langkah apa yang telah diambil atau paling tidak telah dia pertimbangkan untuk diambil dalam rangka mencapai visi-nya tersebut. Lewat cara apa dia merealisasikan rencananya ke depan. Apakah sudah ada langkah-langkah detail, atau masih langkah-langkah yang kabur dan luas cakupannya. Tentu saja, akan jadi pertimbangan bonus jika sudah memiliki rencana alternatif selain rencana utamanya.

Kemudian hadir pula gaya hidup. Poin ini tampaknya sangat luas cakupannya sampai saya sendiri merasa kesulitan mendefinisikannya kalau teman-teman saya mulai membicarakan mengenai hal ini. Namun, dari apa yang saya tangkap selama ini, gaya hidup banyak berkaitan pula dengan seperti apa orang tersebut dididik oleh lingkungannya sehingga dapat menjadi orang yang sekarang ini. Bagaimana pandangannya mengenai isu-isu tertentu. Hal pertama yang sering dibicarakan adalah, bagaimana orang tersebut memandang uang (serta cara mendapatkan dan mengeluarkannya). Hal ini menjadi terlalu sering dibicarakan sampai-sampai saya tidak mampu lagi mengetikkan apa yang dimaksud dengan hal ini. Gaya hidup kemudian berkaitan pula dengan bagaimana cara orang tersebut berkomunikasi, mengatasi konflik, mengambil keputusan, memperlakukan orang lain (baik yang memiliki posisi ‘di atas’ maupun ‘di bawah’nya). Serta masih banyak hal lain yang sebetulnya bisa dimasukkan ke sini.

Terakhir, etos kerja. Hal ini menjadi salah satu yang terpenting karena banyak teman yang mengeluhkan mengenai hal ini dari pasangan mereka. Etos kerjanya berbeda. Si laki-laki ternyata tidak segigih si perempuan untuk meraih tujuan demi kepentingan bersama (ke depannya). Si laki-laki lebih banyak terlihat santai sementara si perempuan lebih banyak bekerja membantu kepentingan si laki-laki. Akhir-akhir ini hal ini cukup membuat saya bersyukur karena selama ini saya selalu dipertemukan dengan laki-laki dengan etos kerja yang cukup gigih, namun juga cemas, seperti apa etos kerja pasangan saya nantinya. Etos kerja di sini juga termasuk bagaimana seseorang menghadapi kegagalan yang ditemui dalam mewujudkan rencana dan mimpi-mimpinya.

Demikian hal-hal yang akhir-akhir ini banyak sekali dibicarakan di antara perempuan-perempuan dewasa muda di usia kami yang menginjak awal 20-an. Namun, saya rasa, tidak semua hal tersebut dapat disamakan antara pasangan, karena di dunia ini ada ribuan juta DNA yang berbeda yang terbentuk sedemikian rupa akibat tumbuh di lingkungan yang berbeda-beda pula. Rasa-rasanya tidak mungkin menemukan seseorang yang betul-betul sesuai dengan harapan-harapan kita.

(to be continued)

*uhuk*

Malam Minggu, bukan lagi diciptakan untukku

sejak kuputuskan untuk mengencani buku-buku

hingga nanti tiba waktunya jejaka kutu buku menyatakan cintanya padaku.

(Pravitasari, 2010)

– D! –