Tagged: marriage
On Evolving Together
“…but it is something that I’m proud of. To be able to work with my husband, evolved with him, succeed together, achieve together, and celebrate life together. And we’re very proud of what we’ve accomplished. We always say to each other that the best is yet to come, believe it or not.”
(Celine Dion, about her 19th year of marriage with her husband. On The Ellen DeGeneres Show)
I want that.
On Marrying A Man
…aku ingin menikahi seorang laki-laki beserta pemikirannya, yang mengerti tentang cita-cita dan mimpi-mimpiku. mimpi-mimpi, yang aku sendiri tidak yakin dapat mewujudkannya…
(found in one of Melita’s post)
The Runaway (UN)Bride(ED)
Pada umumnya wanita-wanita dewasa di Asia, khususnya Indonesia mulai mengalami banyak tekanan mulai usia 25 tahunan. Tekanan-tekanan tersebut berkisar di seputar perkembangan kehidupan mereka menyangkut karir mereka, jabatan mereka, dan yang utama adalah mengenai pernikahan. Setahu saya wanita-wanita Indonesia menikah pada usia yang relatif muda (di bawah 30 tahun). Dulu, wanita-wanita (kalau tidak lebih pantas disebutkan gadis-gadis Indonesia) sudah dinikahkah sejak usia mereka masih belasan tahun. Asal mereka sudah memasuki menstruasi pertama mereka berarti mereka dianggap dewasa dan siap menikah. Hal ini masih berlangsung pada jaman sekarang walaupun mungkin sudah banyak berkurang dan hanya berlaku pada wanita yang tinggal di daerah pedesaan.
Dugaan saya, hal ini disebabkan karena adanya pepatah yang menyebutkan ‘banyak anak banyak rejeki’ sehingga jika para wanita menikah lebih awal, otomatis masa produktif mereka dalam menghasilkan anak tentu lebih lama, dan anak pada jaman dulu merupakan aset berharga yang dapat ‘dimanfaatkan’ sebagai tenaga kerja yang membantu orangtuanya mencari nafkah, terutama anak laki-laki. Anak perempuan juga bisa menjadi sumber nafkah yaitu dengan cara menikahkan mereka dengan orang yang cukup berada sehingga keluarga anak perempuan tersebut bisa meningkatkan derajat kesejahteraan mereka walau hanya sedikit. Selain itu, ada pandangan bahwa kewajiban orangtua sebagai pengasuh dan pembimbing anak mereka akan usai setelah mereka menikahkan anak mereka karena dengan begitu anak mereka (terutama anak perempuan) telah ‘diambil’ oleh orang dan akan diurus oleh orang lain. Mau tidak mau pernikahan merupakan hal yang bercampur dengan kepentingan ekonomi tiap keluarga pada masa itu.
Lalu bagaimana dengan jaman sekarang? walaupun usia pernikahan wanita Indonesia sudah bergeser menjadi lebih tua (sekitar usia 20an pada umumnya) namun tetap saja tekanan untuk menikah akan datang meneror dan hidup melajang pada usia 30 terdengar seperti sebuah abnormalitas dalam masyarakat kita. Sang wanita bisa merasa ‘tidak laku’ dan keluarga yang kurang terbuka akan semakin menyuruh anaknya untuk segera mendapatkan pasangan. Padahal pernikahan adalah hal yang pelik dan membutuhkan komitmen serta pemikiran yang luar biasa. Coba bayangkan bagaimana bisa memutuskan untuk menghabiskan hidup dengan seorang saja berpuluh-puluh tahun! That must be something HUGE.
Jadi demikianlah. pemikiran ini tidak datang begitu saja. Semua dimulai ketika saya dan kedua teman saya yang berinisial SC dan M yang sedang menuju ke Rumah Sakit Hewan di Ragunan untuk memeriksakan kucing M. Pada sore itu SC sedang memikirkan jam-jam terakhirnya ia sebagai remaja karena keesokan harinya ia akan berusia 20 tahun dan mulailah kami memikirkan tekanan-tekanan yang akan dialami wanita berusia twenty something.
Mulai dari kami yang menyadari bahwa kami semua belum selesai kuliah dan tidak tahu setelah kuliah akan melakukan apa, entah bekerja atau melanjutkan S2. Kemudian sampai pada topik maha penting, yaitu tentang menikah. Menyadari kami sama-sama belum memiliki pacar, jadi jangankan memikirkan pasangan yang berprospek untuk mengajak kami menikah, calon pacar untuk senang-senang saja belum ada, akhirnya kami membuat semacam perjanjian asal-asalan. Begini bunyi perjanjiannya :
“Kalo pada umur 27 tahun belum keliatan tanda-tanda munculnya calon suami yang potensial maka kami akan bertemu untuk membahas rencana untuk pergi menetap ke luar negeri. Lalu, jika pada usia 28 kami BELUM JUGA kelihatan akan menikah, kami akan segera mengaburkan diri ke luar negeri dan bersenang-senang di sana”
Terdengar menyedihkan dan seperti kabur dari kenyataan ya? Tapi siapa yang tahu sih kalau ternyata di sana justru muncul kenyataan yang sebenarnya? Haha. At least it would be better to be single and to live with your dozen single friends than living with dozen cats to feed, right?
Ada yang mau bergabung? Hihi.
– D! –