Tagged: profesi pasca sarjana

Sedikit Cerita dari Bangku Pasca-Sarjana

Halo, sepertinya cukup lama saya tidak menyapa, dalam arti betul-betul bercerita dalam blog ini. Sepertinya tidak perlu saya sebutkan kenapa saya cukup lama tidak menuliskan apapun, karena tentu alasannya berkaitan dengan dunia akademis.

Omong-omong soal dunia akademis, sudah kurang lebih 2 bulan saya menjadi mahasiswa program magister profesi psikolog. Banyak yang bertanya pada saya, baik teman-teman seangkatan maupun teman-teman dari angkatan yang lebih muda, mengenai bagaimana rasanya menjadi mahasiswa S2. Sejujurnya saya bingung ketika ditanya demikian, apakah mereka cukup peduli untuk mendengar cerita panjang saya soal bagaimana perasaan saya mengenai kesibukan baru saya, atau pertanyaan tersebut hanya terlewat sepintas karena tidak berhasil menemukan materi obrolan lain. Selain itu saya juga bingung harus menjawab seperti apa, saya tidak ingin memberikan bias-bias subjektif dari saya terhadap orang-orang yang memang ingin melanjutkan studi mereka ke tingkat S2 di kampus dan jurusan yang sama dengan saya.  Namun demikian, mungkin saya akan memberi sedikit gambaran mengenai bagaimana perasaan saya mengenai kesibukan saya sebagai mahasiswa program magister profesi psikolog.

#1. Metode belajar

Saya rasa sama seperti mahasiswa pada umumnya, keluhan pertama adalah banyaknya tugas yang diterima dari pihak pengajar. Pada dasarnya, sejauh ini (saya tidak tahu bagaimana di semester-semester selanjutnya) tugas-tugas yang diberikan sama banyaknya dengan saat saya masih kuliah tingkat sarjana. Perbedaan mungkin terletak pada metode pengajaran. Sekarang, sedikit banyak saya dan teman-teman sekelas saya dituntut untuk lebih serius dalam mengerjakan tugas, tidak lagi sekedar ‘asal selesai’ seperti saat saya masih kuliah sarjana dulu. Selain itu, teman-teman sekelas saya  jauh lebih rajin dibandingkan teman-teman sekelas saya dulu, mungkin karena motivasi saat mendaftarkan diri sudah bulat dan minatnya sudah lebih terfokus. Hal ini menciptakan atmosfer ‘kompetisi’ yang menurut saya mendorong tiap individu dalam kelas untuk berkembang lebih baik lagi. Mengingat dalam satu angkatan Klinis Dewasa hanya ada 26 orang, tentunya masing-masing tidak ingin menjadi orang yang paling ketinggalan di kelas. Selain itu, kami dibiasakan untuk aktif mengkritisi bahan perkuliahan, oleh karena itu biasanya kami dituntut untuk membaca terlebih dahulu bahan ajar untuk setiap mata kuliah yang akan disajikan minggu berikutnya, lalu membuat response paper mengenai apa yang telah kami baca. Dengan demikian, diharapkan kami tidak datang ke kelas dengan isi kepala yang kosong tentang apa yang akan kami bahas pada hari itu. Ada pula materi-materi perkuliahan yang disampaikan oleh mahasiswa setelah membaca jurnal, dosen hanya duduk dan mengomentari. Sebetulnya metode ini sudah diterapkan sejak di S1, namun bagi saya pribadi, baru ‘terasa’ bobotnya sekarang.

 

#2. Proses dan Interaksi dalam Belajar

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa teman-teman sekelas saya sekarang rasanya jauh lebih rajin bila dibandingkan saat saya masih duduk di bangku S1, masing-masing sepertinya betul-betul serius ingin menyerap semua materi pelajaran dan ingin mendapatkan hasil yang terbaik. Bayangkan, baru kali ini rasanya sepanjang saya kuliah, satu kelas mengadakan belajar kelompok dalam mempersiapkan ujian untuk hampir setiap mata kuliah. Sebagai tambahan, berhubung kami berasal dari universitas-universitas yang berbeda dengan sistem dan fokus metode pengajaran yang berbeda pula, suasana belajar di kelas menjadi semakin dinamis. Teman-teman yang memiliki pengetahuan yang lebih dalam suatu topik tertentu akan saling berdiskusi dan berbagi informasi dengan teman-teman yang memiliki pengetahuan lebih di topik yang lain. Hal ini membuat suasana belajar menjadi sangat kondusif.

 

#3. Dosen

Masih berkaitan dengan fakta bahwa suasana belajar di kelas sangat kondusif dan teman-teman seangkatan yang motivasi akademisnya sangat tinggi, dosen-dosen yang mengajar kami pun sepertinya memiliki ekspektasi yang lebih terhadap kami sebagai mahasiswa di jenjang profesi. Mereka mengharapkan kami dapat lebih kritis dalam menyikapi jalannya kuliah, mengerjakan tugas dengan kemampuan analisis yang setingkat lebih maju, dan peka terhadap perkembangan ilmu psikologi, terutama tentu saja psikologi klinis. Pada titik-titik tertentu hal ini sejujurnya agak membuat saya tertekan karena seringkali saya merasa bodoh dan ketinggalan dengan teman-teman lain yang serba tahu.

 

Di luar semua itu, sejauh ini saya masih orang yang sama. Status sebagai mahasiswa pasca sarjana tidak tiba-tiba mengubah saya menjadi seseorang yang lebih pintar atau lebih bijak dibandingkan orang lain, ataupun diri saya sendiri, meskipun jurusan yang saya ambil adalah psikologi klinis. Saya belum belajar mengenai teknik-teknik konseling, saya belum belajar psikodiagnostik, dan yang jelas, saya tidak akan pernah diajari bagaimana caranya ‘membaca’ orang. Satu hal yang sampai saat ini masih mengganjal buat saya adalah saya sering merasa ‘kesepian’ dan kehilangan atmosfer kampus yang senantiasa ramai oleh teman-teman saya yang sekarang mayoritas sudah lulus, selain itu ritme perkuliahan yang berbeda dengan teman-teman dari angkatan yang lebih muda menyulitkan saya untuk dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan mereka. Ada rasa kangen yang muncul dari sana. Terkadang saya masih berharap dapat heboh terlibat di kegiatan-kegiatan kampus seperti dulu, namun kemudian saya harus menyadari bahwa memang tuntutan tugasnya sudah berbeda.

 

Kira-kira demikian sedikit gambaran soal proses belajar yang baru sebentar saya lalui ini. Selain itu, sejak duduk di bangku magister profesi ini saya semacam disadarkan bahwa profesi psikolog bukanlah sesuatu yang bisa dijalani setengah-setengah, walaupun memang sebetulnya tidak ada profesi yang bisa dijalankan setengah-setengah. Namun, saya baru sadar bahwa nantinya saya tidak hanya akan berhadapan dengan gangguan maupun abnormalitas yang dialami oleh klien, saya juga harus terlibat dengan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Saya juga harus memperluas pengetahuan saya menyangkut hal-hal medis, hukum (ini saya sadari saat saya harus berkunjung ke Lembaga Swadaya Masyarakat dan Rumah Sakit untuk kepentingan tugas) juga ilmu-ilmu lain yang sekiranya akan berkaitan dalam pelaksanaan pekerjaan saya nanti. Betul-betul suatu hal yang menarik.

Saya tahu bahwa ini adalah hal yang memang ingin saya lakukan

Mohon doanya :)