Pindah “Rumah”

“Congratulations ya! Seneng ya pasti”

“Selamat ya atas rumah barunya!”

Hampir semua orang yang tahu bahwa saya akan pindah rumah mengekspresikan hal yang serupa. Mereka mengemukakan turut senang atas rumah saya yang baru. Herannya, perasaan saya nggak sesenang itu.

Setelah lima belas tahun tinggal di Komplek Perumahan Bank Mandiri di daerah Pondok Pinang, akhir tahun ini saya dan adik-adik akan pindah ke daerah Serpong, tepatnya Kelurahan Cisauk. Iya, saya tahu sebagian besar dari kalian pasti nggak tahu itu di mana. Tenang, ada di peta kok. Meskipun kalau berangkat ke kantor saya harus menempuh jarak 30 KM setiap harinya (kalau pulang pergi jadinya 60 KM), saya nggak perlu pergi naik roket dan berangkat 3 hari lebih awal untuk sampai ke tujuan.

Pindah rumah sebetulnya merupakan rencana yang sudah lama dibicarakan. Bahkan pindah rumah menjadi salah satu resolusi saya di tahun 2014 ini, selain bisa menyetir dan jalan-jalan ke luar Indonesia. Kepindahan kami sebenarnya juga lebih kepada sebuah “kewajiban” dibandingkan keinginan. Rumah Pondok Pinang, yang kami tempati sejak kami masih duduk di Sekolah Dasar, adalah rumah dinas yang dipinjamkan kepada alm. Bapak selama masa baktinya di Bank Mandiri. Artinya, setelah Bapak pensiun, kami memang tidak lagi berhak untuk tinggal di situ.

Meskipun sudah memiliki rumah di daerah Serpong, dan wacana pindah rumah sudah sering dibicarakan sejak dua tahun yang lalu, setidaknya sampai bulan Agustus tahun ini kami masih belum tahu pasti kapan kami benar-benar akan pindah. Sampai pertengahan tahun kemarin, sepertinya benar-benar tidak terbayang kalau kami harus tinggal di tempat selain rumah Pondok Pinang.

Kami akan pindah dalam minggu ini, dan sampai hari ini perasaan saya campur aduk sekali.

Saya tahu pasti bahwa langkah yang saya ambil adalah langkah yang paling tepat, karena toh cepat atau lambat harus dilakukan. Meskipun lokasinya jauh dan ukuran rumahnya jauh lebih kecil, rumah ini adalah milik kami sendiri, bukan mengontrak dan bukan kos (meskipun masih menyicil dengan KPR). Apabila mau dianggap sebagai investasi pun sebenarnya prediksi terhadap return-nya cukup baik, karena sejak saya beli di akhir tahun 2012, harga rumahnya sudah naik 100%. Renovasi rumahnya secara umum sudah selesai, “tinggal” diisi furniture saja.

Sebenarnya kalau dilihat-lihat saya bergerak ke arah yang lebih positif kan?

Mungkin memang ini ‘penyakit’nya manusia ya, sulit sekali untuk berubah dan takut terhadap hal baru yang belum pasti. Rasanya beberapa hari terakhir ini saya jadi melankolis memikirkan kenangan dengan Bapak dan Ibu yang sudah terukir di rumah itu. Belum lagi kami harus melepaskan banyak barang-barang yang memiliki nilai sejarah tinggi (dalam kehidupan keluarga kami). Memikirkan akan meninggalkan lokasi rumah yang strategis dan dekat dari kantor maupun tempat nongkrong ibukota pun berat sekali. Duh, rasanya kok perih-perih gimana gitu.

Demikian juga kalau memikirkan bahwa nanti di tempat baru kami harus banyak adaptasi lagi. Mau belanja keperluan masak sehari-hari, mesti cari tahu tempat barunya di mana. Mau ke salon mesti tahu di mana. Rute berangkat ke kantor juga jadi berlipat kali lebih jauh. Mesti belajar cari-cari rute jalan yang paling nyaman kalau mau kemana-mana. Kayaknya semakin dipikirin semakin menakutkan.

Oh well.

People say letting go and moving on is never easy to do. Because we have this great human reluctance over change. Even change for the better is still change. It’s uncomfortable because then we need to face the new and uncertain, while we are creatures of habit and of inertia. Letting go often forces us up against our three strongest emotional drivers : love, fear, and rage. 

Meskipun sulit sekali, saya rasa kalau mau bertumbuh ya harus bisa belajar untuk melepaskan. Melepaskan hal-hal yang paling dekat dengan diri kita sekalipun. Bahkan kenangan yang kita genggam paling erat sekalipun. Entah bagaimana caranya, saya pun harus belajar memaknai kenangan atas pengalaman-pengalaman saya dengan cara yang berbeda. Saya harus belajar memandang keterikatan-keterikatan yang pernah ada dalam bentuk yang berbeda.

Saat  itu lah saya baru bisa benar-benar menemukan “rumah” yang lain, tempat saya untuk pulang. Untuk melanjutkan hidup saya, dan mungkin mendapatkan kehidupan yang lebih baik pula.

Mohon doanya.

(foto rumahnya menyusul ya)

Leave a comment