The Least We Could Do

Hemm, bagaimana memulai post yang ini ya. Sebenarnya ini hanya sedikit cerita mengenai pembicaraan saya dan teman dekat saya, salah satu teman terdekat saya bahkan, yang namanya Hario Iman Setyo, alias Pio.

Sekilas tentang Pio. Merupakan mahasiswa fakultas psikologi UI angkatan 2005, saat ini sedang (berusaha) menyelesaikan skripsinya  dan merencanakan lulus semester depan (mudah-mudahan kami bisa lulus bareng). Seorang pendengar yang luar biasa baik dan teman chatting yang tidak bisa tergambarkan dengan kata-kata. Tingkat inteligensi di atas rata-rata, konon, terakhir kali mengikuti tes inteligensi, skor IQ-nya mencapai angka 140-an (mudah-mudahan bukan hoax semata) –> saya juga tidak tahu ini pakai tes apa dan skala-nya apa, dan normanya juga bagaimana, jadi samasekali tidak bisa digunakan sebagai data deskriptif apapun sebetulnya hahahaha.

Memiliki hobi main game sampai gila, nonton Discovery Channel dan National Geographic, buka-buka artikel tentang apapun di internet, menaruh minat yang besar terhadap fungsi otak manusia, proses berpikir, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Perbendaharaan kata bahasa inggrisnya luarbiasa, sudah seperti tidak perlu dipikir lagi. Tipe yang malas dan memang tidak bisa olahraga, namun sangat handal dalam bermain bowling.

Dengan wawasannya yang (sangat) luas, Pio merupakan teman yang sempurna untuk menghabiskan malam-malam begadang atau sebagai teman bengong. Pembicaraan dengan Pio bisa berloncatan dari topik paling ampas sampai topik paling penting sekalipun, mulai dari buka-buka YouTube, window chat, tempat duduk di kanlam, beranda rumah saya, atau rumahnya, sampai pelataran parkir Circle K (ditemani bir dan benda-benda lainnya). Yah, walaupun demikian, bung yang satu ini selalu merasa tidak punya kelebihan dalam bidang apapun dan merasa dirinya biasa-biasa saja. Yasudah, suka-suka dia saja lah ya.

si pio

Intinya, Pio apa ya? Yah, salah satu teman yang sangat penting buat saya lah. Dia ini orang kedua yang  saya telepon sambil nangis sesenggukan sewaktu saya diputusin duluuuuuu sekali (orang yang pertama adalah Mitun). Nah, paham kan posisi dia ini bagi saya sebagai teman yang seperti apa? Oh iya, tambahan, saya memanggil Pio dengan nama ‘Bebek Kribo, atau Beki‘, karena muka dan namanya kaya Piyo-Piyo. Dan Pio memanggil saya ‘Semir’, karena, yah, apalagi kalau bukan karena kulit saya yang cenderung gelap. Sial memang. Oh iya, Pio sudah punya pacar, namanya Eda, psikologi UI angkatan 2008.

Lanjut, satu hal yang akan menjadi topik perbincangan yang sangat panjang adalah jika kalian coba tanyakan ke Pio mengenai apa agama yang dipeluknya. Maka, sesuai dengan apa yang ia tuliskan di profile facebook-nya pada bagian Religious Views, ia akan menyatakan “in evidence we trust”. Dengan kata lain, ia tidak memeluk agama apapun, dan ya, keyakinannya terhadap Tuhan juga tidak bisa dipastikan. Jadi, antara bung yang satu ini agnostik, atau atheis.

Saya sendiri sering sekali bertukar pikiran dengan Pio masalah hal ini, dimana kami berusaha untuk menerima penalaran kami masing-masing tanpa harus memaksakan pendapat satu sama lain. Cukup mengerti alasan dibalik argumen masing-masing, buat kami itu sudah lebih dari cukup. Lagipula saya ini cenderung jauh lebih sederhana pemikirannya dibandingkan dengan Pio, mau adu argumen yang bener-bener adu argumen, pasti saya kalah. Kurang data.

Sebetulnya aktivitas ini cukup menyenangkan bagi kami, sepertinya, dimana yang terjadi adalah saya lebih banyak mendapatkan tambahan pengetahuan dari Pio hehehe. Lalu cerita dimulai di sini :

Suatu malam, di twitter :

@padrepijo : their delusion irritates me

@dubidupap @padrepijo : what delusion, mate?

@padrepijo @dubidupap : that particular delusion, i think you know what i mean. but eeee im just being a dick.

@dubidupap @padrepijo : ih kamu mah ih ko gitu kita kan harus saling toleransi kamuuu. tolerance, remember?

@padrepijo @dubidupap : engga, ada sisi ignorance dan egois yang luar biasa pada beberapa orang sih mir, itu yang bikin rada gmanaaa gitu.

@padrepijo @dubidupap : dan gw bilang, “im just being a dick”. hahahahh.

(pembicaraan terhenti)


Meja kantin lama, siang hari yang senggang, beberapa hari kemudian

dhea : Beki, kemarin maksudnya ignorance gimana sih eik kurang paham, yang di twitter itu lho

Pijo : gini lho, gue suka sebel kalau ada orang yang bilang, “terima kasih Tuhan, Engkau telah berikan kehidupan yang baik untukku, blalblabla, terimakasih Tuhan atas hari ini, hidup itu indah, blablablabla”

dhea : lha, dimana ignorance- nya meeen?

pijo : hemm gimana ya. mereka bicara kaya gitu seolah-olah terdengar sombong aja gitu di gue. Mereka nggak sadar apa bahwa di luar kehidupan mereka banyak yang sengsara. Anak-anak di Afrika misalnya? Gausah yang jauh deh, pengamen anak-anak jalanan itu deh.

dhea : Ok, now you’re making me dizzy. Slowly, mister, slowly. My brain is a little slow. Terus?

pijo : yah gue mikir, mereka nggak mau tahu tentang kehidupan orang-orang itu, yang penting hidup mereka udah enak. Titik. Dengan adanya keadaan seperti itu, kenapa mereka masih bilang kehidupan itu baik?

dhea : yah memangnya apa yang bisa mereka lakukan coba, Bekiiii? Sesat pikir lo. Fallacy!

pijo : ya nggak tahu juga sih hahahaha. i’ve told you before, i was just being a dick. Gue cuma mikir, kenapa mereka nggak pernah mempertanyakan, kenapa Tuhan yang kata mereka maha baik itu, menciptakan kelaparan dan kesengsaraan di sana? Mereka sih udah tenang hidupnya.

dhea : ah, kembali ke jalan kehidupan radikal, as always. Yah, Tuhan iseng aja kali (jawaban mulai ngaco karena sudah hampir masuk kelas)

pijo : tuh, udah melempar wacana, ngajakin ngomongin, tapi begitu sih

dhea : yah abis gue bingung, emang mereka, (atau kita), bisa apa Beki untuk membantu anak-anak di Afrika? Menurut gue sih ya, kalau kita nggak bisa mengubah keadaan orang lain, setidak-tidaknya yang bisa kita lakukan adalah tidak mengeluhkan keadaan kita sendiri.

pijo : yeah, you got a point. Tapi ya nggak usah gitu banget lah orang-orang itu. Ah, nggak tau lah, gue lagi rese aja nih.

(pembicaraan terhenti, berganti dengan topik curhatan)

Pembicaraan tadi nggak akan ada ujungnya, karena sudut pandangnya sendiri dari awal memang sudah beda. Hal ini sudah jadi makanan sehari-hari buat saya dan Pio, jadi kami sudah saling maklum. Saya tetap pada pendapat saya, terlepas dari kewajiban agama bahwa manusia memang diwajibkan untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhannya atas apa-apa saja yang telah diberikan (yang mana saya sangat bersyukur), sebetulnya, hal yang paling sederhana yang bisa kita lakukan jika kita memang tidak bisa membantu keadaan orang lain adalah tidak mengeluhkan keadaan kita sendiri. Mungkin itu yang dilakukan oleh orang-orang yang dimaksud oleh Pijo tersebut. Intinya ya, kalau belum bisa bantu apa-apa, minimal nggak usah banyak ngeluh dan banyak protes lah.

Soalnya,dunia akan jadi tempat yang sangat menyedihkan dan menyebalkan  jika kita sadar bahwa keadaan di luar sana tidak seberuntung kita, dan kita marah-marah akan hal itu, dan kemudian merembet juga ke kehidupan sehari-hari kita.

Kalau begitu caranya, apalagi yang tersisa buat kita?

Hemm, mungkin, sebagai tambahan, if we care enough, kita bisa mulai mendoakan keselamatan orang-orang selain diri kita sendiri, mulai dari orang-orang yang ada di sekitar kita saja, baru mungkin ke lingkup yang lebih luas.

Bagaimana pendapat kalian?

– D! –

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s